Rabu, 14 September 2011

FF/GoodBye My Angel << Sequel of I Hate Namja/Romance,Friendship/Choi Minho, LieBeom [OCs],Lee Donghae/PG+17/OneShoot



GoodBye My Angel

By : Ulie Aya’aya Wae




Cast :

Choi Minho
LieBeom
Lee Donghae
And other




Ruangan serba putih khas Rumah Sakit menjadi saksi keresahan serta kekecewaan seorang Dokter bernama Lee Donghae. Dia duduk terpaku diatas ranjang yang biasanya ditiduri oleh si pasien. Hari ini saat ia akan memeriksa pasien itu. Ia terkejut karena pasien-nya menghilang. Tidak ada tanda-tanda keberadaannya di Rumah Sakit terbesar di Seoul itu. Semua barang-barangnya sudah lenyap tak berbekas. Apa dia diculik? Batin Donghae terus saja menerka-nerka segala kemungkinan.
“Apa mungkin sudah meninggalkan Rumah Sakit?” tanya Donghae pada dirinya sendiri. “Ah, tidak mungkin. Dia belum sembuh total.” kepalanya nya sedikit menggeleng. Donghae langsung bergegas menemui Suster Sooyoung yang slalu bertugas menjaga pasien specialnya itu. Dan hasil dari info yang di dapat, Donghae baru yakin kalau pasien itu memang sudah pergi, Beom kabur.



Beom dengan riang pergi kesebuah tempat untuk menemui seseorang. Dia berdandan sangat cantik hari ini, wajah yang biasanya terlihat pucat telah di make-up dengan sangat sempurna. Rambutnya ia kepang pinggir, dibiarkan jatuh kebahunya. Tubuh mungilnya ia balut dengan gaun pink selutut, bagian bawahnya bergelombang membuat gaun itu terlihat cantik.
Setengah jam sudah, akhirnya ia sampai ditempat yang dituju. Sebuah apartemen milik temannya, Choi Minho. Tanpa mengetuk dan meminta izin dari si empunya rumah, ia langsung masuk seperti biasanya, seperti tingkahnya setahun yang lalu. Beom melihat orang yang sangat ingin ditemuinya sedang tidur dikasur berukuran 200x200 cm. Sejenak ia terpaku memandang pria yang tertidur itu, bibirnya tersungging indah mencerminkan kegembiraannya. Ia duduk di tepi ranjang, jari jemarinya dengan telaten membelai rambut pria yang dicintainya itu. Kemudian Beom membaringkan tubuhnya menghadap Minho. Ia tatap lekat-lekat, rasa rindunya membludak hingga bibir merahnya dengan reflek mencium lembut bibir Minho. Minho terbangun dan tercekat, matanya masih mengerjap-ngerjap kemudian membulat lebar atas apa yang dilihatnya.
“Beom?!” pekiknya tak percaya.

Beom tersenyum, “Saranghae, Oppa!” ucapnya pelan seraya memeluk Minho dan menenggelamkan dirinya menikmati kehangatan tubuh pria itu. Minho diam, bahkan bibirnya terkatup rapat. Tangannya masih ragu-ragu untuk membalas dekapan gadis yang sangat dirindukannya itu.

PRAANG!

Mereka berdua kaget, dan melihat kearah sumber suara. Minho terbelalak, sementara Beom memasang wajah heran.



Kimjae POV

Apa aku sedang bermimpi buruk? Apa yang sedang aku lihat barusan?? Kekasihku sendiri dicium wanita lain. Mereka tidur diatas satu ranjang, melihat semua itu aku hanya berdiri mematung. Kaki seolah berat untuk dilangkahkan, mulut ini bagai ditutupi lakban. Yah, ini hanya mimpi buruk disiang bolong, awalnya aku berpikir seperti itu. Sampai disaat makanan yang kubawa terlepas dari tanganku, aku baru sadar kalau itu kenyataan. Aku menunduk, mencoba memalingkan wajahku. Berpura-pura sibuk membereskan pecahan piring yang berserakan dilantai.
“Mianhae..” ucapku pelan.

Sebuah tangan tiba-tiba membantuku membersihkan pecahan piring yang masih tersisa. Aku mendongak dan mendapati Minho oppa, “Gwenchana? Biar kubantu,” Minho oppa menatapku tajam seolah mengisyaratkan kalau kita  harus keluar dari ruangan itu. Kitapun pergi menuju dapur, sekilas aku menoleh kebelakang dan melihat Beom tersenyum dengan wajah tanpa dosanya.
Di dapur yang ruangannya tidak terlalu jauh dari kamar tadi, kami hanya diam. Hening beberapa saat sampai akhirnya aku memutuskan untuk mulai bicara.
“Mengapa dia ada disini?” Minho oppa hanya menatapku, kemudian mengantarku menuju pintu keluar. “Pulanglah, kita bicara nanti,”

Aku menghentikan langkah kakiku, rasanya terlalu berat untuk pergi tanpa penjelasan. Aku berbalik dan menghadapnya. “Berjanjilah, hubungan kita akan baik-baik saja,” aku menggenggam kedua tangan-nya penuh harap.

“Pulanglah, kita bicara nanti. Jebal!” aku sedikit kecewa dengan apa yang dikatakannya. Bukannya memberi kepastian, ia malah membuatku ragu.

“Apa oppa akan meninggalkanku demi dia?” tak henti-hentinya aku bertanya. Sekarang aku benar-benar merasakan ketakutan yang berbeda dari biasanya. Rasa takut kehilangan orang yang sangat aku cintai. Minho oppa tetap bungkam, tidak ada satu pun pertanyaan yang ia jawab.

“Pulanglah dulu.. jebal!” Minho oppa menatapku dalam. Matanya memohon supaya aku lekas pergi. Entah untuk menjaga perasaan Beom atau sengaja untuk menendangku keluar dari apartemennya. Aku kecewa sampai tak bisa berpikiran positif. Sekilas Minho oppa mengecup dahiku ketika membukakan pintu.

“Tunggu! Harusnya, aku yang pergi.” terdengar suara parau seseorang yang entah sejak kapan berdiri di daun pintu kamar.

End Kimjae POV



Beom tercengang ketika tidak sengaja mendengar percakapan antara Kimjae dan Minho. Niatnya yang semula hanya untuk mengambil air minum, ia abaikan begitu saja. Beom lebih tertarik memperhatikan dan mendengar dua orang yang berada dihadapannya. Mereka terlalu serius sampai tidak menyadari kehadirannya. Beom berjalan gontai kearah mereka, ia menarik sudut bibirnya, senyum yang dipaksakan. Matanya mulai berkaca-kaca, bibirnya ia gigit untuk menahan air mata menetes.
“Chukae oppa.. onnie..” ucapnya lirih. Air mata yang ia tahan mengalir begitu saja membasahi pipi.

“Beom..” pekik Minho, dia merasa bersalah karena orang disayanginya menangis olehnya. Sementara Kimjae diam seribu bahasa tanpa penjelasan. Minho meraih tangan Beom dan mengusap air matanya. Kemudian tangannya hendak memeluk, tapi Beom menahannya.

“Aku terlalu senang sampai terharu begini.” kilah Beom sambil mengusap air matanya. “Akhirnya, oppaku yang jelek ini bisa punya kekasih,” ia menunduk dan tertawa kecil, berusaha menyembunyikan isakan tangisnya. Semakin lama semakin menjadi, buliran air matapun terus mengalir dipelupuk matanya tanpa komando. Beom mencoba tegar, menarik nafas panjang kemudian mendongak menatap Minho dan tersenyum.

“Aku amit. Eomma sudah menungguku dirumah.” tak ada cara lain selain pergi menghindar untuk menyembunyikan kerapuhan hatinya. Minho hanya diam tanpa bisa mencegahnya.



Beom tiba di rumah dengan wajah sendu, ia melihat ibunya sedang berbincang mesra dengan pria yang baru ditemuinya, Lee Taemin. Kekasih ibunya. Beom hanya melihat sekilas, kemudian berlalu begitu saja ke kamar. Tak ada sapaan manis untuk tamu ibunya itu, dia acuh seolah tidak melihat keberadaan mereka. Tidak segampang membalikan telapak tangan saat orang ingin mengenalnya. Beom adalah tipe orang yang susah untuk akrab, terlebih dengan orang baru. Dia juga tidak begitu tertarik dengan orang yang tidak disukainya. Baginya semua ini terlalu cepat. Saat Beom sadar dari sakitnya, ia harus mendengar perpisahan orang tuanya. Dan sekarang, harus melihat ibunya berkencan dengan pria lain. Bukan sesuatu yang buruk, hanya saja, ia butuh proses untuk bisa memahaminya.



Beom masih diam dikamar, duduk terpaku dikursi dekat jendela. Pandangannya menerawang entah kemana, pikirannya dipenuhi dengan kejadian tadi di apartemen Minho. Rasanya terlalu menyedihkan, disaat semua harapan dan cintanya ingin dilabuhkan pada Minho. Ia harus menerima kenyataan bahwa Minho sudah dimiliki oleh orang lain. Asa untuk hidup bersama pria itu pupus seketika.

Ketukan pintu terdengar samar-samar, tapi Beom tidak menggubrisnya. Ia terlalu terbuai oleh lamunannya hingga tak menyadari hal itu. Hyori yang tidak mendapat respon, langsung masuk ke kamar anaknya itu. Ia menghampiri Beom lalu memegang bahunya. Beom tercekat, lamunannya buyar dan berganti tatapan heran terhadap ibunya, “Waeyo?”

“Gwenchana?” Hyori malah balik bertanya. Beom mengangguk, kemudian duduk di tepi ranjang bersama Hyori.

“Apa kau tidak menyukainya?” Beom mengernyitkan dahi,  beberapa detik kemudian ia menyadari pertanyaan itu mengarah pada Taemin.

“Anni.. kenapa eomma berpikir seperti itu? Aku akan mendukung dan menghargai apapun keputusan eomma.” Beom tersenyum dan menggenggam tangan Hyori, “Hanya saja, aku butuh waktu untuk bisa memahaminya,”

“Ne.. araso!” Hyori membelai rambut anaknya itu kemudian memeluknya dengan hangat.



Minho POV

Beom mengungkapkan perasaannya padaku, dan dia menciumku? Awalnya aku mengira kalau semua itu adalah bagian dari mimpi indahku. Setelah ditunggu lama, akhirnya ia bisa mengatakannya padaku. Entah kenapa, rasa senangku hanya hitungan menit. Menit selanjutnya hatiku menjadi galau. Rasanya, saat itu ingin kubalas bahwa aku juga mencintainya. Tapi, disaat kesadaranku mulai utuh, aku menyadari kalau ada seseorang yang sudah kuikat dan aku tidak ingin mengecewakannya. Baru kali ini, hati dan pikiranku tidak sejalan. Sesungguh-nya dihati ini ada satu ruang kecil beratas namakan Beom, yang tidak bisa tergantikan oleh siapapun.

End Minho POV




Two Days Later

Minho terlihat gusar, ia hanya berdiri lalu duduk secara berulang-ulang. Tidak jelas apa yang ada dalam pikirannya. Ia merasa bersalah dan bersugesti kalau dia tidak bisa menemuinya lagi. Sudah satu jam ia menunggu orang itu di taman. Tidak ada tanda-tanda kedatangannya, bahkan teleponnya pun tidak diangkat-angkat. Tapi, Minho tetap menunggunya.
Sementara itu, ditempat yang agak tersembunyi dari Minho, Beom sedang memperhatikannya. Ia masih ragu-ragu untuk menemuinya. Perasaannya ia atur sedemikian rupa supaya tidak terlihat canggung saat bersamanya. Beom juga mempersiapkan bahan percakapan yang tidak pernah dilakukan sebelumnya. Lagi-lagi ponsel Beom bergetar, kali ini satu pesan dari Minho.

Gwenchanayo? Kau sedang dimana?

Beom menghela nafas panjang, pesan dari Minho ia abaikan. Sekali lagi ia mengintip, terlihat Minho sedang mengotak-atik tombol ponselnya. Dan sekali lagi, ponsel Beom bergetar. Tertera diponsel bahwa Minho memanggilnya.

“Yup! Aku bisa mengatasinya.” kata Beom menyemangati diri sendiri. Kemudian ia berlari ke arah Minho untuk membuat alibi bahwa ia benar-benar terlambat.

“Oppa!!” panggilnya, masih dengan berlari. Minho mendongak dan seketika sudut bibirnya mengembang sempurna, sangat manis. Beom tiba didepan Minho, nafasnya memburu tak teratur.

“Mianhae.. aku ketiduran, terus tadi dijalannya macet,” kilah Beom dan  dibalas senyuman oleh Minho sambil mengacak-acak rambut gadis itu.

“Syukurlah kau baik-baik saja. Aku khawatir sesuatu terjadi padamu.” mata yang tadinya sayu sudah memancarkan sinar kelegaan. “lain kali, biar aku yang menjemputmu,” lanjut Minho.

Beom hanya mengangguk kemudian berdeham untuk mencairkan suasana.
“Oh yah, Kimjae onnie mana?” Beom pura-pura mengedarkan pandangan.

“Aku sendiri. Ayo duduklah, banyak sekali yang ingin kubicarakan,” Minho duduk dibangku yang ada disana, diikuti oleh Beom. Sejenak hening, kata-kata yang ingin mereka ucapakan seolah tertahan. Hanya ada suara hembusan nafas yang memburu pelan. Mereka saling pandang, mata mereka seolah berbicara.

“Bogoshipo..” tiba-tiba Minho mendekap gadis disampingnya sekaligus membelai rambutnya dengan lembut. Beom tercekat, tapi dia tidak bisa apa-apa selain menikmati hangatnya dekapan itu. Sudut matanya tengah berlinang air mata, rasanya ingin juga ia berkata bahwa dia juga merindukannya. Tapi Beom tahan, situasi dan kondisinya sekarang sudah berbeda. Orang yang telah memberinya kekuatan bangkit dari koma, orang yang sangat dicintainya, orang yang ingin dimilikinya telah menjadi kekasih orang lain. Hal tersebut slalu ada dalam benaknya untuk menyadarkan dan mengingatkannya. Beom sesegera mungkin melepaskan dekapan Minho.

“Aish.. kalau sampai Kimjae onnie lihat, aku bisa celaka.” Tepis Beom sambil terkekeh. Ia coba untuk bersikap senatural mungkin,  tapi tidak dengan Minho. Matanya sayu seolah kecewa atas apa yang dilakukan Beom.

“Apa kau tidak merindukanku? Kenapa tidak membalasnya.” Ucap Minho, lebih tepatnya racauan yang tidak disadarinya.

“Heh, mworago?” Beom pura-pura tidak mendengarnya, satu alisnya terangkat supaya meyakinkan.

Minho sedikit menyunggingkan senyumnya, “Tidak usah aku ulang, karena kau sudah mendengarnya,”

“Jebal! Jangan seperti ini oppa, aku akan sangat susah untuk melepasmu.” batin Beom, sekarang giliran dia yang mati kata. Beom coba menghindar ketika pandanganya berpaut dengan Minho. Kali ini perasaannya susah untuk dikontrol, tidak ada jalan lain selain menghindar dan meninggalkan Minho.

“Ehem. Oppa, aku harus pergi. Aku lupa harus mengantar eomma belanja,” tutur Beom mencoba berkilah. Ia beranjak dari duduknya dan melangkah pergi. Minho menahan lengan Beom, “Jeongmal mianhae..” ucapnya lirih.

Beom terpaku, beberapa detik kemudian menoleh pada Minho.
“Apa oppa sedang mengejekku? Oppa berharap aku yang mengucapkan kata maaf itu?” Beom mendelik dan terkekeh, “Iya.. iya.. mianhae. Lain kali, aku akan menghabiskan waktu yang lama bersama oppa. Arrachi?” senyuman manis mengembang dengan indah. Beom membungkukkan sedikit tubuhnya dan mensejajarkan wajahnya dengan Minho yang masih duduk. Kemudian mengangkat telapak tangannya tepat dihadapan Minho.

“Oppa, annyeong..” pamitnya dengan senyum riang yang dibuat-buat dan langsung berlalu dari sana. Saat dirasa sudah jauh, ia menumpahkan emosinya, air matanya pun menetes dengan sendirinya. Sementara Minho masih terdiam dibangku taman dengan pemikirannya.



Hari telah berganti minggu dan minggu telah berganti bulan. Begitulah seterusnya, seberat apapun beban yang dipikul, waktu tetap berjalan dengan sendirinya. Musimpun telah berganti. Seorang pria sedang sibuk dengan pikirannya, beberapa kali ia berkunjung ke taman kota. Berharap bertemu dengan orang yang dicarinya, seorang gadis yang telah membuat hatinya penasaran. Entah karena apa, yang pasti ia sangat ingin menemuinya. Ia seolah sedang mencari jawaban atas kepenasaran hatinya. “Aish, bisa-bisa aku gila!” gerutunya sambil mengacak rambut,

“Apa aku harus menghabiskan waktu seharian ditaman ini? Baiklah, ini pencarian terakhirku. Aku yakin dia adalah pengunjung setia taman ini hehe..” gumam Donghae mencoba memberi semangat pada dirinya sendiri, ia pun terkekeh dengan kekonyolan tingkahnya.

Donghae mulai berjalan menelusuri taman kota yang cukup luas itu. Tanpa disadari, hari sudah sore dan tamanpun semakin ramai dengan orang-orang yang sengaja menghabiskan waktu disana. Ada beberapa pemuda yang sedang berlari-lari kecil, sekumpulan gadis remaja yang sedang berfoto ria dan anak-anak kecil yang sedang asyik bermain gelembung. Diujung taman terlihat seorang gadis sedang duduk di bangku dekat pohon besar. Dia tersenyum simpul dan tangannya mencoba meraih gelembung-gelembung yang terbang kearahnya, dan gelembungnya pun pecah tepat ditelapak tangannya.
Sementara itu ditempat yang agak jauh, Donghae menyipitkan matanya, mencoba mempertajam pandangannya. Dan sedetik kemudian bibirnya pun merekah ketika melihat dengan jelas sosok gadis itu.

“Thanks God! Akhirnya, aku menemukannya.” gumam Donghae kemudian ia pun berjalan mendekati gadis bernama Beom itu.

Beom berjongkok, mencoba mengambil daun kering di kolong bangku tempat duduknya. Dia melamun sampai tidak menyadari ada seseorang yang datang dan sedang memperhatikan tingkahnya dari belakang, ia membungkuk. Beom meremas daun kering itu kemudian menjatuhkannya perlahan-lahan.

“Tidak ada yang benar-benar abadi. Semuanya akan hilang dengan  berjalannya waktu.” Beom memekik lirih.

“Walaupun hilang, daun itu akan menjadi pupuk yang akan menumbuhkan daun-daun baru.” timpal Donghae yang berhasil membuat Beom tercekat dan dengan refleks berdiri hingga kepalanya membentur dagu Donghae.

“Ah, mianhae..” ucap Beom, kakinya mundur selangkah. Donghae merintih, tangannya mengusap dagunya yang kesakitan.

“Heh? Dok..dok..ter..” tunjuk Beom tepat diwajah Donghae, ucapnya terdengar gagap, “Jeongmal mianhae,” lanjutnya.

“Gwenchana. Aku baik-baik saja.” kata Donghae dengan gelagapan. Kemudian dia mencoba tenang dan duduk dibangku, Beom mengikuti. Hening sejenak, sibuk mencari bahan obrolan. Mereka saling pandang secara bergantian dan disaat matanya saling beradu, mereka langsung menunduk.

“By the way, sedang apa Dokter disini?” tanya Beom mencoba mencairan suasana.

“Hanya jalan-jalan.” balasnya datar.

“Owh.. apa tidak kerja? Beberapa hari ini aku sering melihatmu ditaman ini.”

“Ye..?” Donghae mengernyit, “Jadi, kemarin-kamarin ini kau sempat melihatku?”

Beom mengangguk sebagai balasan.

“Aish.. aku capek-capek mencarinya, tapi dia malah acuh melihatku. Bahkan, menyapaku saja tidak. Menyebalkan! Apa aku, yang merawat dan mengobatinya berbulan-bulan tidak pernah berarti baginya?!” batin Donghae menggerutu.
Beom mengernyit dan beranjak meninggalkan Donghae yang sedang sibuk dengan lamunannya.
“Tunggu! Oediga?” Donghae meraih lengan Beom dan menatap meminta jawaban.

“Pulang..” jawab sekena-nya. Kemudian melangkah pergi.

“Tunggu!” Donghae menyusul dan berdiri dihadapannya, “Bolehkah aku meminta nomor ponselmu? Emh siapa tahu kesehatanmu menurun atau bisa saja terjadi sesuatu terhadap orang disekitarmu. Bukannya lebih baik kau menghubungiku untuk mempercepat pertolongan,”

Beom menautkan kedua alisnya kemudian tertawa kecil mendengar alasan konyol Donghae tersebut.
“Baiklah,” Beom menyetujui. “Sekarang, bolehkah aku pergi?” pamitnya dengan satu alis terangkat.

“Iya, silahkan.” balas Donghae dengan tersenyum. Beom pun berbalik dan berlalu.

“TUNGGU!” lagi-lagi Donghae mencegahnya dan berhasil membuat Beom menoleh.

“Hati-hati dijalan, dan terima kasih nomornya.” Ucap Donghae sambil mengangkat telapak tangannya seolah mengisyaratkan bye. Hal itu membuat Beom terkekeh, “Dokter yang aneh!”.



Minho POV

Sudah beberapa bulan ini aku jarang menerima kabar dari Beom, aku tahu dia sedang menghindariku. Walaupun masih bisa saling ber-sms. Tapi dia sangat susah diajak ketemu. Selalu saja ada alasannya untuk menolakku. Perasaanku semakin kacau, rasanya terlalu sesak ketika harus menjalin hubungan dengan orang yang tak kucintai dan aku baru menyadarinya. Dihatiku hanya ada Beom, orang yang sangat aku sayangi.

Beberapa hari yang lalu, Kimjae meminta putus. Entah karena apa, mungkin dinginnya sikapku telah membuatnya merasa bosan. Atau mungkin juga dia telah menyadari kalau hatiku tidak pernah benar-benar jadi miliknya. Semua ini adalah salahku, jadi wajar saja kalau dia membenciku. Harusnya dari awal aku tidak pernah memaksakan cinta ini. Mianhae Kimjae-ssi.

End Minho POV



Sore ini langit mendung, gumpalan awan hitam hampir menyelimuti seluruh langit kota Seoul. Beom menikmati pemandangan itu dibalik jendela kamarnya. Ia sedang menanti datangnya hujan. Berharap air hujan bisa membersihkan segalanya, menghapus cinta yang salah dalam hatinya. Kemudian mengalirkannya kelaut dan menjadi buih yang lama kelamaan akan hilang tak berbekas. Suara upbeat ringtone tiba-tiba mengagetkan Beom, satu pesan singkat masuk ke inbox ponselnya.
From : Dr. Donghae
Beom, annyeong..

Beom melihat sekilas, kemudian meletakkan kembali ponselnya diatas meja. Dia mulai merebahkan tubuhnya dan menenggelamkannya dalam selimut. Mengistirahatkan pikirannya dengan mencoba tidur, beberapa menit kemudian ponselnya kembali berdering, dari orang yang sama.

Sedang apa? Sibuk kah?

Beom mengeryit, lalu mengotak atik tombol ponselnya. Bukannya membalas, ia malah men-setting ponselnya menjadi silent. Dan membiarkan ponselnya tergeletak asal. Beberapa menit kemudian, ponselnya bergetar. Ia mengacuhkannya dan tertidur.



Donghae POV

Aku tertahan dipintu keluar RS saat seorang suster menghampiriku dan mengatakan kalau ada pasien yang membutuhkan pertolongan dirumahnya. Aku mencatat alamatnya kemudian pergi kesana. Setibanya, aku menemukan pasien itu tergeletak di lantai apartemennya. Pria yang tidak asing lagi, Choi Minho. Begitulah saat Beom mamanggilnya. Kubaringkan ia dikasur, tidak ditemukan penyakit yang serius saat aku memeriksanya, hanya saja sedikit demam. Dimulutnya tercium bau alkohol dan kemungkinan hal itu yang membuatnya ambruk. Sepertinya dia stres.

Aku segera menghubungi Beom, dua pesan yang ku kirim tidak ada respon darinya. Entah karena sibuk, atau dia malas menanggapi pesan  basa-basi itu. Pesan ketiga aku kirim dengan jelas.

Send to Beom :

Temanmu Minho sakit! Bisakah kau kesini merawatnya? Aku tidak bisa berlama-lama diapartemennya.

End Donghae POV



Saat Beom bangun dan melihat pesan diponselnya, dia shock. Kemudian langsung menghubungi Donghae untuk memastikan. Beom bergegas pergi ke apartemen Minho. Setiba disana Donghae menyambutnya dengan tatapan heran, “Kau jalan kaki kesini?” tanyanya ketika melihat keadaan Beom yang sedikit basah kuyup.

“Gimana keadaannya?” Beom langsung menghampiri Minho yang tertidur di ranjang. Ia lebih tertarik melihat kondisi temannya daripada harus menjawab pertanyaan tidak penting Donghae.

“Keringkan dulu tubuhmu.” Donghae melempar handuk kecil miliknya pada Beom.

“Kalau kau sakit, aku bisa repot mengurus dua pasien sekaligus. Kita bicara disana,” lanjutnya datar dan menunjuk sofa dengan dagunya. Beom menuruti, ia mengeringkan tubuh dan rambutnya di atas sofa yang dulu sering diduduki bersama Minho.

Kejadian yang pernah terjadi dulupun seolah nampak mengusik memorinya. Disinilah awal benih-benih cinta itu tumbuh. Beom terkaget ketika mendapati telapak tangan Donghae bergerak bolak-balik didepan wajahnya. Ia pun tersadar dari lamunannya.

“Apa yang sedang kau pikirkan?” tanya Donghae.

“Anni.. Bagaimana kondisi Minho oppa?”

“Kau memanggilnya, OPPA?” satu alisnya terangkat dan mengucapkan kata oppa dengan sedikit penakanan. Beom mengernyit dan menatapnya sinis seolah ingin cepat menerima jawaban.

“Ah iya.. dia baik-baik saja. Mungkin karena terlalu banyak minum alkohol disaat perutnya kosong, jadi dia lemas dan sedikit demam. Kemungkinan dia akan muntah-muntah, dan hal itu bisa parah. Jadi, aku harap kau bisa merawatnya dengan baik.”

“Kenapa kau tidak membawanya kerumah sakit?” timpal Beom memotong penjelasan Donghae.

“Kalau aku membawanya, aku tidak akan bisa melihatmu, Beom.” batin Donghae, ia diam sejenak, membetulkan rambut depannya yang menghalangi mata. “Ah dia baik-baik saja. Jadi tidak perlu dibawa ke RS. Oh yah, kenapa kau baru kesini? Padahal aku memberitahumu dari tadi sore.” kilahnya diikuti dengan pertanyaan.

“Jadi, kau diam disini dari sore? Wae?”

“Ya! Kenapa malah bertanya balik saat aku bertanya padamu!” Donghae mengendus kesal, wajahnya ia palingkan dari tatapan heran Beom, tingkahnya sedikit gelagapan. “ Ehem, itu ‘kan tugasku sebagai Dokter untuk merawatnya,”

Beom terkekeh, “Gomapta..”

Mereka saling pandang dan saling melempar senyum.
“Oh yah, bagaimana kau bisa tahu aku temannya Minho?” tiba-tiba Beom melepar pertanyaan yang membuat Donghae sedikit terkejut. Tidak mungkin ia memberitahunya kalau slama ini dia memperhatikannya.

“Aku tahu karena dia orang yang paling rajin menjengukmu waktu di rumah sakit. Apa kau tidak mengingatnya?” Beom menggeleng.

“Apa kau juga tidak ingat semua perkataan dan cerita, saat aku merawatmu?” selidik Donghae.


“Memangnya, apa yang sering kau ucapkan padaku?” Beom menautkan kedua alisnya, mendekatkan wajahnya dan membuat Donghae sedikit kikuk.

“Aniyo.. permi~si, aku mau ke toilet!” Donghae berkilah dan bergegas pergi. Beom tersenyum tipis seolah puas mengerjainnya, memperhatikan punggung Donghae sampai menghilang dibalik tembok, “Aku mengingat semuanya. Tapi, mianhae Donghae-ya. Aku tidak bisa membalas perhatianmu.”


Beom duduk ditepi ranjang, tangannya menggenggam telapak tangan Minho dengan hangat. Tatapannya nanar karena cemas. Tak berapa lama, tangan Minho bergerak dan terbangun. Beom langsung melepas tangannya dan berpaling, duduk membelakangi Minho.

“Beom?!” pekik Minho seraya tak percaya.

“Beom..” kali ini bukan pekikkan tapi sebuah panggilan terhadap orang yang berada didekatnya. Beom tetap bungkam. Minho meraih tangannya dan membetulkan posisinya jadi duduk dibelakang Beom.

“Gwenchana?” tanya Beom dengan pandangan tetap kedepan. Minho malah meletakkan dagunya di bahu Beom dan menyandarkan kepalanya, “Bogoshipo..”

Detak jatung Beom berhenti beberapa detik, tetap diam tanpa reaksi. Tubuhnya seolah terselimuti kehangatan yang berasal dari tubuh Minho, membuatnya enggan untuk bergerak.


#Flashback.

“Sekarang kau puas, HAH?! Kau benar-benar jadi parasit dalam hubungan kami.” Bentak Kimjae, nafasnya memburu hebat, kilatan matanya memancarkan kebencian. Beom tertunduk, kemudian menatap Kimjae tajam, susut bibirnya terangkat membentuk sebuah seringaian,

“Kenapa kau menyalahkan orang lain? Harusnya kau koreksi dirimu sendiri, kau yang tidak BECUS mengurusnya!”

“Diam kau PELACUR!” sebuah tamparan keras mendarat di pipi Beom, terasa perih dan panas diwajahnya. Ia menatap geram.

“Aku menyesal pernah mendonorkan darah untukmu! Karenamu, aku tidak pernah benar-benar memiliki hatinya. Aku membencimu, Beom.. harusnya waktu itu kau kubiarkan mati!” geram Kimjae, kata-katanya seperti ribuan belati yang menancap tepat dijantung Beom. Wajah yang tadinya angkuh, dan siap memuntahkan amarahnya, kini melunak. Perkataan aku menyesal pernah mendionorkan darah untukmu, harusnya kau mati! Telah membuat pertahanan Beom runtuh. Ia hanya bisa melihat punggung Kimjae menjauh dari tempatnya berada tanpa bisa membela diri.

#End flashback.


“Berhentilah oppa, jangan seperti ini. Aku akan menghubungi Kimjae onnie supaya bisa merawatmu.” Beom mencoba berdiri tapi Minho manahannya.

“Tinggallah disini, aku ingin kita seperti dulu,” Minho menggenggam telapak tangan Beom,

“Berhentilah membohongi diri sendiri! Aku tau, kau juga mencintaiku. Dan aku juga sadar saat kau menciumku waktu itu.” Beom berbalik dan tertawa kecil, terlihat seperti senyuman yang meledek, “ Oppa, apa kau bermimpi? Mana mungkin aku menyukai pria jelek sepertimu,”

“Tapi itulah kenyataannya!” tegas Minho, “Kalau saat itu aku bermimpi, bagaimana kau bisa menjelaskan semua isi diarymu?”

Kali ini Beom benar-benar sekakmat, tidak ada lagi bahan untuk berkilah. Ia tidak berani berpaut pandang dengan Minho. Hanya menunduk, menggigit bibir bawahnya, mencoba mengatur nafasnya yang memburu hebat.



Donghae POV

Aku pergi ketoilet mencoba untuk menghindar dari tatapan tajam Beom, pandangannya membuatku mati langkah. Hatiku berdetak tak beraturan. Cukup lama aku diam di toilet, menatap diriku sendiri didepan cermin. Kadang menghela nafas panjang untuk mengurangi kegugupanku. Kucuci wajahku kemudian keluar.

“Tapi itulah kenyataannya! Kalau saat itu aku bermimpi, bagaimana kau bisa menjelaskan semua isi diarymu?” samar-samar aku mendengar suara saat keluar dari toilet. Aku menuju ruangan tengah dimana ruangan itu menjadi tempat untuk kamar tidur juga. Aku tertahan, dan melihat situasi yang membuatku sedikit marah. Entah karena apa dan mulai sejak kapan aku mulai peduli terhadap Beom. Yang pasti, saat ini aku seolah susah untuk bernafas ketika melihat Minho memeluk Beom dihadapanku.

“Jangan seperti ini oppa! Lepaskan!” Beom mencoba berontak tapi kekuatan Minho lebih besar membuatnya tidak bisa apa-apa.

“Sebenarnya, hubungan mereka seperti apa?” aku bergumam dan tetap melihat mereka diam-diam.

“Tidak seperti itu, oppa! Cinta itu sudah lama aku kubur.” kali ini suara Beom terdengar lirih, sepertinya ia akan menangis.

“Bohong!” Minho melepaskan dekapannya, tangannya beralih memegangi kedua bahu Beom, “Jangan menyiksa hati lagi, Jebal!”

Tiba-tiba tanpa disangka Minho langsung menciumnya dengan liar, kedua tangannya memegangi kepala Beom supaya ia bisa dengan puas menciumnya dalam-dalam dan bergumul.
Tanganku mengepal, buku-buku jariku terlihat mengencang. Rasanya ingin kujauhkan mereka dan kubawa Beom pergi dari sini.

“Apa aku ini seperti pelacur, hah?!” ucap Beom saat bibirnya berhasil lepas dari bibir Minho. Ia menatap penuh kemarahan pada temannya itu. Air mata yang ia tahan sudah tidak terbendung lagi. Buliran-buliran air mata kini menetes dipipinya, “Jangan buat aku membencimu, oppa!” lanjutnya dan berusaha menghindar, membalikkan tubuhnya.

Lagi-lagi Minho menahan dan mendekapnya erat dari belakang. Beom berontak dengan tangisan yang semakin menjadi. Tanpa sadar, kakiku mulai melangkah dan berjalan kearah mereka. Kemudiian kutarik Beom dari dekapan Minho.

“LEPASKAN!” ucapku lantang. Minho langsung melayangkan tinjunya padaku, aku mengelak.

Kemudian kubalas dan kepalan tanganku tepat mendarat pada wajah Minho dan membuatnya tersungkur kelantai. Sudut bibirnya terluka dan berdarah.

Plak!

Bukannya mendapat ucapan terima kasih, pipiku malah menjadi pelampiasan kemarahan Beom. Tangannya menampar keras pipiku, membuatku sedikit tertunduk.

“Atas dasar apa kau mencampuri urusanku, HAH?!” ucapnya lantang, bahkan terdengar seperti sebuah teriakan yang merusak gendrang telingaku. Kali ini dia benar-benar ber-urai air mata. Ia menatap geram kearahku kemudian pergi meninggalkan apartemen Minho.

End Donghae POV



Donghae masih membuntuti gadis yang  tadi menamparnya, memperlambat laju mobilnya supaya ia bisa memperhatikan tanpa diketahui olehnya. Sungguh gadis yang bodoh, bagaimana bisa ia terus berjalan menelusuri malam. Beberapa kali ia mengabaikan taksi yang melewatinya. Dan terus berjalan tanpa tujuan, seperti yang slalu dilakukannya ketika hatinya terluka. Donghae menghentikan laju mobilnya ketika melihat jalan Beom sedikit terhuyung. Ada perasaan cemas yang menyelimuti hatinya. Beom diam mematung, tangan kanannya terlihat memijit dahi, sementara tangan kirinya membetulkan tali selempang tas yang mengait dibahunya. Ia terjongkok, kemudian ambruk tak sadarkan diri.




Beom membuka mata ketika sinar matahari pagi menusuk matanya, masih setengah sadar. Ia hanya menatap langit-langit, lalu mengedarkan pandangannya yang tanpak asing. Ujung matanya mendelik kearah samping. Terlihat seseorang sedang duduk memperhatikannya.
“Kau sudah bangun?” tanyanya datar.

“Dimana ini? Bagaimana aku bisa aku tidur disini?”

“Aku menemukanmu pingsan dijalan.” Kata Donghae, “Makan dan minumlah obatnya. Setelah itu aku akan memeriksamu kembali,” lanjutnya. Bubur dan obat ia sodorkan pada Beom. Beom hanya diam dan terus menatapnya.

“Wae? Apa kau ingin aku menyuapimu?”

Beom menggeleng, kemudian menunduk dan memakan bubur itu. Donghae pergi keruang sebelah, beberapa menit kemudian ia kembali dengan peralatan dokternya. Duduk di sofa dan memanggil Boem untuk duduk bersamanya. Tanpa merasa sungkan, punggung tangannya ia tempelnya pada dahi Beom, lalu memeriksa denyut nadi dipergelangan tangan gadis itu.
“Ini rumahmu?” tanya Beom basa-basi.

“Iya..”

“Tinggal sendiri?”

Donghae menghentikan aktivitanya sejenak, menatap Beom dalam-dalam, “Kau mau menemaniku?”

Beom tertawa kecil mendengarnya, setelah itu mereka saling pandang. Dari situ Beom melihat ada guratan luka dipipi Donghae. Ia melihat kuku jarinya. Mungkin luka itu bekas tamparan yang ia lakukan semalam.
“Punya plester?” tanya Beom.

“Ye..?” Donghae mengernyit seolah ingin Beom mengulangnnya, ia takut salah dengar mengingat tidak ada luka luar ditubuh Beom.

“Plester!” ulang Beom.

Donghae mengambilnya dan meyerahkannya pada Beom. Beom kemudian menempelkan plester itu di pipi Donghae yang terluka, sedikit menekannya supaya tertempel kuat. “Harusnya sebelum mengobati orang lain, kau obati dulu lukamu.”

Donghae hanya menatap, seolah tak percaya gadis dihadapannya baru saja mengelus pipinya.
“Sengaja, biar kau yang mengobati lukanya.” canda Donghae, kedua sudut bibirnya terangkat hingga menghasilkan senyuman yang sangat indah. Mereka kembali saling pandang seolah sedang mengagumi apa yang mereka lihat. Pancaran matanya saling berbicara dengan akrab, kedipan demi kedipan seolah menghipnotis jiwa mereka. Donghae mulai menyentuh dan meraba leher jenjang Beom, maju keatas dan menempelkan ibu jarinya disamping bibir gadis itu. Mulai mendekat dan sedikit menyampingkan kepalanya dan memejamkan mata. Beberapa detik kemudian bibir mereka saling menempel. Beom diam tanpa perlawanan, seolah sedang menikmati kelembutan dan manisnya sensasi ciuman Donghae. Setelah itu mereka saling membuka mata, dan shock atas apa yang barusan mereka lakukan. Keduanya saling berpaling dan menghindar.

“Miannanta..” ucap Donghae sambil berlalu. Sementara Beom masih mematung, tak percaya atas apa yang terjadi. Benar-benar diluar kesadarannya.



Minho POV

Pagi-pagi sekali aku mencari Beom kerumah-nya. Banyak sekali hal yang harus kami bicarakan. Terlebih pas malam, dia pulang dalam keadaan rapuh. Apa yang kulakukan semalam itu salah? Aku hanya memberi tahu apa yang sebenarnya hati ini rasakan dan aku yakin Beom juga masih mempunyai perasaan yang sama. Hanya saja, mungkin semalam bukan waktu yang tepat untuk aku mengungkapkannya dan cara yang kulakukanpun salah. Setiba dirumah Beom, aku menerima kabar kalau dia tidak pulang. Aku jadi cemas dan was-was. Segala kejadian buruk berkecambuk dalam pikiranku. Bagaimana tidak, Beom selalu kehilangan akal sehatnya saat hatinya hancur. Kejadian-kejadian dimasa lampau, aku takut terulang kembali. Apalagi, saat dihubungi ponselnya tidak aktif.

Aku terus mencari, kutelusuri jalan-jalan protokol di Seoul dan kudatangi tempat-tempat yang biasanya ia kunjungi. Tapi belum membuahkan hasil, kemudian kuputuskan untuk berjalan kaki. Kuperhatikan dengan seksama orang-orang yang berada disekitarku, kutanya sana-sini. Kadang kusalah mengenali, postur tubuh dari belakang sangat mirip, tapi pas dilihat dari depan ternyata bukan. Beberapa menit kemudian, disebrang jalan sepertinya aku melihat Beom, akupun memastikan terlebih dahulu. Mataku menyipit, supaya bisa melihat lebih tajam. Dan kali ini aku benar, dia sedang berdiri bersama pria yang ternayata adalah Donghae. Mereka sepertinya sedang menunggu bis, dan disaat bisnya tiba didepan mereka, aku sudah tidak bisa melihatnya lagi.

End Minho POV



Beom menolak Donghae untuk mengantarnya pulang, jadi Donghae hanya mengantar Beom ke halte bis. Beom masih merasa canggung kalau harus bersamanya. Jadi dia mencari alasan supaya bisa pulang sendiri. Donghae pun menyetujui. Tak banyak kata selama mereka dalam perjalanan, bahkan keduanya terlihat kikuk.
Saat bis tiba di depan mereka, Beom pura-pura masuk dan menyuruh Donghae untuk segera pergi. Dan setelah agak jauh ia turun kembali kerena bukan bis itu tujuannya. Beom sengaja berbohong dan pergi ke halte yang terdekat supaya kebersamaan mereka tidak lama. Beom bergegas pergi dari tempat itu, berjalan kearah depan bis yang masih berhenti itu. Kemudian menyebrang jalan, kadang menoleh kebelakang untuk memastikan kalau Donghae tidak melihatnya.
Tiba-tiba terdengar teriakan “AWAS!” yang dibarengi dengan suara klakson yang beruntun. Beom terkesiap dan hanya diam mematung melihat mobil yang melesat cepat kearahnya. Seseorang dari sebrang berlari dan mendorong Beom hingga tersungkur ketepi jalan. Dan beberapa detik kemudian terdengar gebrakan yang sangat keras. Pria itu tertabrak, tubuhnya membentur kap dan kaca depan mobil. Kemudian tubuh tak berdaya itu terpental jauh kedepan. Pecahan kaca berserakan diaspal, cairan merah kentalpun membanjiri bagian depan mobil beserta dengan jalannya. Dengan cepat orang-orang berkerubun, beberapa diantara mereka terlihat shock dan hanya diam tak bergeming, Beom mencoba bangkit, berjalan kearah korban walopun dengan kaki tertatih-tatih. Beom tercengang, antara percaya dan  ga percaya saat melihat sosok pria yang terbaring berlumuran darah itu. Ia langsung mengangkat kepala pria itu dalam pangkuan.

“Oppa..!” pekik Beom, bibirnya terkatup rapat dan bergetar hebat menahan tangis. Seluruh tubuhnya seolah mati rasa, lemas tak bertenaga. Matanya mulai merah dan memanas, buliran air matapun sudah tidak bisa lagi dibendung, menetes membanjiri pipinya.

“Gwenchana?” tanya pria yang kini nafasnya tersengal itu, dia masih bisa tersenyum diatas sakit yang menyebar diseluruh tubuhnya, “Syukurlah, kau tidak apa-apa.” 
Tangis Beom semakin menjadi, tangan pria itu mencoba menghapusnya, Beom meraih tangannya dan menempelkan dipipinya.

“Oppa, bertahanlah..” Beom terlihat semakin panik ketika pria dipangkuannya terbatuk dan memuntahkan banyak darah. Pria itu malah menyunggingkan senyum simpulnya, jari-jari tangannya membelai wajah Beom.“Saranghae..” ucapnya lirih, kemudian sedikit mengangkat kepala dan mendekatkan wajahnya ke Beom, lalu menciumnya. Tak beberapa lama tangannya pun terlepas dan tergeletak terberdaya, matanya pun tertutup rapat.



Hamparan padang luas terbentang sejauh mata memandang, sebuah bukit kecil dengan rumput yang terpangkas sempurna. Deretan batu nisan pun berjejer rapi, tertera nama yang menunjukan siapa pemiliknya. Beom berdiri tegak disalah satu batu nisan, ribuan kelopak mawar putih dan merah tertabur diatas gundukan tanah yang sedikit menyembul itu. Satu tangkai mawar merah diletakkan khusus diatas batu nisannya. Hari ini tidak ada tangisan seperti kunjungan-kunjungan sebelumnya. Ia telah lebih kuat dan ikhlas atas semuanya.
Tiba-tiba sebuah tangan meraih pundak Beom dari belakang, kemudian sang pemilik tanganpun berdiri sejajar disamping Beom. Ia tersenyum, sebuah sunggingan bibir yang indah milik Choi Minho.
“Oppa..” Beom menatapnya dalam-dalam dan matanya mulai berkaca-kaca. Minho membelai halus rambut Beom, meraba wajahnya lalu mendekapnya beberapa menit, “Hari ini kau sangat cantik, jadi jangan kau rusak dengan air matamu.” ucapnya sambil tersenyum. Beom pun berusaha tersenyum, menarik kedua sudut bibirnya dengan sangat sempurna. Mereka saling menatap dalam, matanya saling berpaut memperlihatkan rasa sayang diantara mereka. Minho mulai memindahkan kedua tangannya dari bahu kewajah Beom, telapak tangannya mengapit pipi gadis itu, dan mulai mendekatkan wajahnya. Perlahan-lahan sampai hidung mereka saling beradu, kemudian sedikit menyampingkan wajahnya hingga bibir merahnya mencium pada posisi yang tepat dan nyaman, bibir mereka saling saling menghisap, saling melumat secara bergantian. Begitu manis dan hangat sampai menembus kedalam hati. Begitu lama mereka berciuman dan matapun saling terpejam rapat menikmati kenikmatan yang luar biasa. Perlahan-lahan ciuman itu mulai melonggar, dan akhirnya terlepas. Minho tersenyum lega, seolah tidak ada beban yang dipikulnya, “jaga dirimu baik-baik, Beom. Saranghae..”
Sebuah cahaya tiba-tiba datang, menyilaukan pandangan mata Beom. Ia mengerjap, kemudian cahaya itu menghilang bersamaan dengan Minho yang lenyap takberbekas.



Aku akan hidup dengan baik, aku janji! Akan kuisi hari-hariku dengan senyuman yang indah  dan akan kuukir keindahan itu dalam lubuk hatiku. Hidup baru.. identitas baru.. tempat tinggal baru, dimana tidak ada satupun orang yang mengenalku..

Hara



Fin.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar