My Inspiration
By : Ulie Aya’aya Wae
Rate : PG17
Lenght : Chapter
Main Cast : Henry Lau,
Kim Kibum, Park Lee Beom [OC]
Other Cast : Zhoumi,
Hyosun, Park Jungsoo
Sekilas info : Beom dan Mochi adalah anak panti
asuhan yang tinggal di daerah Andong. Saat Beom kecil, ia mengalami kecelakaan
yang mengakibatkan matanya menjadi buta. Setelah itu dia diadopsi oleh Park
Jungsoo dan namanya nya pun berubah menjadi Park Lee Beom. Sedangkan Mochi yang
mendonorkan matanya tanpa sepengetahuan Beom, diadopsi oleh seorang dermawan
dari China setahun setelahnya. Dan diberi nama Henry Lau oleh keluarga
angkatnya.
Jadi wajar aja kalau
mereka susah saling mengenali. Yang sudah lupa awalnya, mending baca part
1 nya lagi aja yah ^^ Happy reading!!
Hubungan antara
direktur SM dan anak angkat keluarga Park kini semakin dingin. Kecemburuan yang
terlalu besar dan masalah yang didiamkan berlarut-larut menjadi penyebab awal
dari ketidakharmonisan hubungan mereka. Rencana yang telah disusun rapi oleh
gadis yang biasa di panggil Beom itu pun menjadi berantakan. Jadwal
keberangkatannya hari ini ke Andong harus dibatalkannya karena tidak mendapat
izin dari kekasihnya itu. Sekarang ia hanya duduk cemberut di ruangan direktur
SM itu. Pakaian yang sudah ia packing
untuk keperluan menginap dua hari pun terpaksa harus dibawa pulang lagi dan
disimpan dilemari. Menyebalkan! Berkali kali ia mendengus kesal, kekasih yang
dipuja-pujanya itu ternyata hanya seorang pria pencemburu dan egois plus over protective. Kebaikan-kebaikan
dari pria tampan itu seolah telah hilang dimatanya. Hari ini ia benar-benar
marah, rasanya ingin ia berdiri dihadapan kekasihnya itu terus memakinya sampai
puas. Tapi sayangnya ia tiada daya, lebih baik mengalah sekarang supaya bisa
membujuknya lain kali. Berharap, suatu saat kekasihnya itu bisa mengizinkannya
pergi. Yah, di pending satu minggu ia
rasa bukan suatu masalah.
“Aku pergi!” pamit Beom
pada direktur SM itu. Tanpa melihat reaksi Kibum, gadis itu langsung bergegas
meninggalkan ruangan. Kibum hanya mampu melihat punggung kekasihnya itu menjauh
dari pandangannya. Sejenak ia menarik napas panjang.
Terlihat ragu saat Beom
akan memasuki apartemen Henry. Disana sudah ada Zhoumi yang sedang sibuk mendata
barang-barang yang akan disumbangkan. Dengan langkah yang berat Beom
menghampiri mereka dan duduk di teras seraya ikut membantu mengepak
barang-barang itu. Tidak tahu bagaimana harus memulai, rasanya sangat sulit
untuk berkata ‘aku tidak akan ikut’
sampai akhirnya barang-barangnya sudah siap dan hanya tinggal pergi.
“Mianhae.. aku tidak
jadi ikut pergi.” ucap Beom pelan sambil menyodorkan amplop berisi uang
sumbangan itu pada Henry dan Zhoumi. Dua pria itu tampak heran, menautkan kedua
alisnya ingin tahu alasannya.
“Tadinya memang akan
pergi. Tapi ada keperluan penting dan mendadak yang tidak bisa aku tinggalkan.
Kalian pergi saja berdua dan sampaikan salamku pada anak-anak disana,” lanjut
Beom mencoba menjelaskan. Dan untuk menyembunyikan kebohongannya itu ia
tersenyum semanis mungkin.
Tidak ada komentar.
Sepertinya pria-pria itu sedikit kecewa dengan keputusan dadakan Beom itu.
Semangat untuk pergi ke Andong yang awal-awalnya menggebu itu sepertinya
sekarang sudah melemah.
“Apa kalau minggu depan
kau bisa ikut pergi?” tanya Henry tiba-tiba membuat Zhoumi menoleh kearahnya.
Beom menatap kedua pria
itu bergantian. “Entahlah, akan aku usahakan. Jujur, aku juga sangat ingin
pergi ke sana.”
“Ya sudah.. Kita pergi
minggu depan saja. Bagaimana hyung?” saran Henry sekaligus meminta persetujuan
dari Zhoumi.
“Terserah saja. Tapi,
apakah jadwalmu tidak akan terganggu?”
Mendengar pertanyaan
Zhoumi, Henry agak sedikit ragu. Mengingat hari selasanya ia harus tampil
disebuah acara pernikahan temannya.
“Ga apa-apa. Kita pergi
tanpa menginap. Jadi aku masih punya waktu satu hari untuk istirahat. Ottoke Beom?”
Beom mengernyit, untuk
pertama kalinya Henry memanggilnya Beom. Terasa aneh, walaupun nama tersebut
sudah biasa menjadi panggilannya. Terasa berbeda, ketika Henry yang
mengucapkannya. “Baiklah. Tapi apakah benar tidak mengganggu pekerjaanmu?”
Henry menggeleng.
“Baiklah. Kita berangkat minggu depan. Sekarang aku ada waktu latihan untuk
menghibur mereka juga disana.” ucapnya riang.
Akhirnya mereka bertiga
menyusun ulang lagi rencana. Bukan hanya sekedar memberikan uang dan barang.
Tapi mereka juga akan membuat pertunjukan kecil untuk menghibur anak-anak panti
asuhan disana. Rencananya mereka akan pergi pagi-pagi sekali dan acara musiknya
akan dimulai sore hari sampai malam. Setelah semuanya selesai mereka akan
langsung pulang kembali ke Seoul.
Setelah mendapatkan
kesepakatan seperti itu, Zhoumi memutuskan untuk pulang terlebih dahulu.
Sekarang tinggal Beom dan Henry di apartemen serba putih itu. Tiba-tiba
suasananya menjadi agak canggung, untuk menghilangkan itu Henry pura-pura
latihan. Piano dan biola ia mainkan secara bergantian. Suara merdunya mampu
membuat Beom merasa betah berada di rumah yang seminggu terakhir ini sering di
kunjunginya itu. Lambat-laun kecanggungan itu pun hilang dan akhirnya Beom ikut
bernyanyi bersamanya.
“Park Lee Beom.” gumam
Henry seperti mengingat-ingat sesuatu. Merasa namanya di panggil Beom menoleh
dengan satu alis terangkat.
“Nama yang bagus.”
Henry diam sejenak, “Bolehkah aku memanggilmu Beom seperti yang lain?” tanyanya
meminta persetujuan.
“Mmm..” Beom hanya
bergumam. Lalu diam, sibuk memikirkan bagaimana ia harus meminta izin lagi
pada kekasihnya untuk pergi ke Andong
minggu depan. Jujur, ia sendiri tidak yakin akan mendapatkan izin itu. Tak ada
cara lain, selain berbohong.
Tidak mendengar suara
gadis yang disampingnya selama beberapa menit, Henry memegang kedua pundak
Beom. “Diam sebentar,” titahnya. Lalu menggerakan tubuh gadis itu supaya duduk
membelakanginya. Jari telunjuknya mulai menuliskan satu persatu huruf di
punggung Beom sampai menjadi sebuah kata tanya ‘Wae?’
“Ani..” Beom terkesiap
dan langsung membenarkan posisi duduknya ke semula. Hebat, artis SM itu seolah bisa menerka kalau dirinya memang
sedang banyak pikiran.
“Yah sudah kalau tidak
mau cerita,” kata Henry. Beom menoleh, bagaimana bisa orang yang baru beberapa
bulan ini dikenalnya seolah bisa mengerti apa yang ada dalam hatinya.
“Menurutmu, apa yang
sedang aku pikirkan?” tanya Beom seolah mengetes.
“Entahlah. Yang pasti
kau membohongiku.”
Beom mengernyit
mendengarnya, apa maksudnya Henry berbicara seperti itu. Apa mungkin dia
mengetahui sesuatu tentangnya?
“Kau bilang ada
keperluan mendadak. Tapi buktinya, kau masih di sini sampai sekarang,” lanjut
Henry yang berhasil membuat mata Beom membulat lebar. Payah! Ternyata dustanya
bisa terbongkar dengan mudah. Gadis itu terlihat gelagapan dan langsung
beranjak dari duduknya, “Ani.. sekarang juga aku akan pergi,”
Henry menarik lengannya
dan berhasil membuat Beom duduk kembali di sampingnya. “Sebelum kau pergi,
buatkan dulu aku ramyun. Bisakan?”
Beom berdesis kesal.
Tapi ternyata, dia mau juga membuatkannya. Satu porsi ramyun spesial sudah siap
disantap. Beom hanya duduk dihadapan Henry dan melihatnya makan. Berkali-kali
Henry menawarinya makan, tapi dia menolak. Dan hanya memerhatikan seolah dia menemukan
pemandangan yang sangat indah. Kadang bibirnya menyungging, betapa lucunya pria
yang berada dihadapannya itu. Rasanya tidak ingin jauh darinya.
“Ayolah makan.. Aku
tidak enak makan sendiri, Nih!” Henry memaksa. Ia menyodorkan mie kenyal itu
dengan sumpitnya tepat dihadapan Beom.
“Aku tidak lapar.”
“Makan tuh bukan
berarti harus menunggu lapar, Beom-ah. Tapi, juga untuk memberi tubuhmu
tenaga.”
Tidak tahu lagi harus
bicara apa. Tidak ada kata-kata untuk berkilah, gadis itu akhirnya menyerah. Bujukan
Henry selalu bisa membuatnya luluh. “Baiklah, aku makan.” Beom mengambil sumpit
lain dan akhirnya makan bersama Henry dalam mangkuk yang sama.
“Adikmu sangat cantik.”
ujar Beom ketika melihat foto keluarga yang terpajang di dinding bercat putih
itu. “Sepertinya tidak jauh umurnya denganmu,”
“Iya.. kami hanya
berbeda satu tahun.” balas Henry.
“Apa kau tidak rindu
pada mereka?”
Henry tersenyum tipis.
“Mana mungkin tidak rindu. Aku sangat ingin pulang ke China, tapi pekerjaan
membelengguku. Ternyata, berkarir di Korea itu tidak enak. Sangat ketat!”
“Terus kenapa akhirnya
kau memutuskan untuk ke Seoul?”
“Tadinya hanya ingin
menemukan seseorang.”
“Siapa?”
“Cinta masa kecilku.”
Hening. Jantungnya tiba-tiba
berhenti berdetak beberapa detik. Entah karena syok mendengarnya, atau karena
ia merasa hatinya terluka. Gadis itu bungkam, tidak mau lagi terlibat lebih
jauh tentang kehidupan pribadi idolanya itu. Beom berdeham, sejenak merapihkan
bajunya yang agak sedikit kusut. Kemudian berpamitan. “Aku pulang dulu, sudah
hampir sore.”
Henry POV
“Aku pulang dulu, sudah
hampir sore.”
Aku sedikit kecewa.
Kenapa disaat aku ingin bercerita banyak padanya, ia harus pergi. Aku berharap
ketika aku menceritakan sesuatu padanya. Dia juga bisa terbuka padaku, bisa
menceritakan apa yang ada dalam benaknya padaku. Hari ini Beom berbeda, tidak
banyak bicara seperti biasanya. Bahkan saat aku mengerjainya, tanggapannya
datar. Seolah sudah malas dengan semua candaanku. Tapi, aku bersyukur untuk
hari ini karena masih bisa mendenngar suaranya. Aku harap suatu saat nanti
bukan hanya mendengar suaranya, tapi juga bisa melihatnya.
End Henry POV
Sesampainya dirumah,
Beom malah merasa bosan. Tatapan dingin kekasihnya itu membuatnya tidak betah.
Sungguh menyesal buru-buru pulang dari rumah Henry, harusnya ia mengulur
sedikit waktunya. Jadi ketika sampai di rumahnya hari sudah berubah malam dan dia
punya alasan untuk langsung tidur. Mmm.. andaisaja.
Beom diam di balkon,
hanya untuk melihat langit yang sudah menguning dan matahari yang mulai pulang
keperaduannya. Menyibukkan diri dengan pensil dan sehelai kertas putih supaya
tidak beradu pandang dengan kekasihnya. Dimenit ke 30 mulai ada gangguan, Shit!
Orang yang tidak ingin dilihatnya malah datang menghampiri. Beom pura-pura kembali
fokus kegambarnya, kedua matanya memandang ke arah langit dan sehelai kertas di
atas meja secara bergantian seolah mengecek sejauh mana hasilnya, alibi yang
sempurna.
“Kemana saja tadi?”
tanya Kibum, ia berdiri dihadapan Beom seolah menghalangi objek dan mengganggu
aktivitas menggambar gadis itu.
“Pergi ke rumah teman.”
Jawabnya datar.
“Siapa? Henry?”
Terkaan Kibum hanya
mendapat gumaman dari gadis itu, “Mmm...”
“Jadi, sekarang kau sudah
mulai bermain ke rumahnya, Beom-ah?” Beom mendongak, menunggu apa yang akan
dikatakan kekasihnya itu selanjutnya. “Kau sengaja ingin memancing amarahku?”
Terlihat geram, matanya mulai mebulat lebar.
“Jadi apa yang harus
aku katakan, Oppa! Jujur salah, bohong juga salah! Apa yang sebenarnya ingin
kau dengar dariku?” tanya Beom dengan nada yang sedikit tinggi. Sejenak
menghela napas panjang, mencoba mengatur emosinya. Kemudian ia melanjutkan,
“Aku hanya memberi tahunya kalau keberangkatan hari ini ke Andong batal. Itu
saja!” Terdengar lirih.
Kibum terkekeh, “Lucu
sekali! Apa hanya untuk memberitahunya perlu waktu sampai 5 jam?”
Sindiran Kibum berhasil
membungkam mulutnya. Tidak tahu lagi harus menjelaskan apa, gadis itu menatap
nanar kekasihnya. Seolah memintanya untuk mengakhiri pembicaraan. Cukup. Tidak
ingin amarahnya sampai membludak. Beom tidak tahu sama sekali kalau kekasihnya
itu hari ini tidak kerja. Beberapa menit setelah Beom meninggalkan kantornya
tadi pagi, ia juga ikut pergi. Pulang ke rumah untuk berbicara dengannya. Tapi
sayang, dia malah tidak ada. Dari situ Kibum tahu seberapa lama kekasihnya itu
menghabiskan waktu di luar.
“Dia artisku, Beom-ah.
Kalau sampai terjadi scandal. Bukan
hanya aku, kau, dan dia. Tapi, juga perusahaan akan terbawa-bawa.” Kibum
mencoba menjelaskan, nadanya menurun berharap kekasihnya itu bisa mengerti apa
yang dikatakannya.
“Aku tahu oppa,
bagaimana perasaanku. Dan aku tahu bagaimana harus bersikap! Jangan khawatir,
apa yang aku lakukan dengannya tidak akan mengundang konsumsi publik.” Beom
mencoba membela diri.
“Ani.. kau tidak tahu
apa-apa tentang dunia hiburan korea. Sekali wartawan mencium bau amis, maka
akan terus menggerubuninya seperti gula. Satu hal terbongkar, maka siap-siap
semuanya akan muncul dimedia.” Lelah. Sepertinya percuma menjelaskan panjang
lebar pada kekasihnya itu. Kibum melangkah pergi, diam sejenak dengan wajah
membelakangi gadis itu, “Apa kau yakin
perasaanmu tidak berubah? Aku sama sekali tidak melihat rasa suka seorang fans pada
idolanya. Tapi lebih. Kenali hatimu sendiri, Beom-ah!”
Sakit. Apa yang
dikatakan Kibum seperti langsung menyayat hatinya. Gadis berzodiak cancer itu sekarang hanya bisa merenung.
Buliran air menetes begitu saja dari pelupuk matanya. Entah karena merasa di
fitnah, atau memang dia sendiri menyadari perasaannya sedikit berubah. Hatinya
mendua.
Ini merupakan
pertengkaran dan perdebatan paling parah selama mereka berhubungan. Tidak ada
candaan untuk memulihkan kondisi ini seperti biasanya. Keduanya sekarang tidak
mau mengalah, egois. Merasa pendapatnya adalah yang paling benar. Lama-kelamaan
semakin parah. Dingin. Bicarapun hanya seperlunya, hilang sudah keakraban diantara
mereka, seperti ada tembok besar yang menutupi setiap langkah mereka. Buntu,
susah mencari jalan keluar untuk masalah mereka. Bahkan mereka selalu berpaling
ketika berhadapan langsung. Dan hanya bisa memperhatikan secara diam-diam.
Kibum masih setia menahan kantuknya hanya untuk melihat Beom tertidur pulas
lalu dia akan mencium keningnya sebagai ucapan selamat malam. Sementara Beom
masih rajin mengantarkan makan siang untuk direktur SM itu. Meletakan bekal itu
diatas meja kerjanya ketika Kibum tidak ada. Dan akan membangunkannya dengan
kecupan ketika direktur SM itu tertidur disaat jam kerja. Kemudian akan segera
menghilang.
Hari yang
ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Beom sudah bersiap-siap untuk pergi ke tempat
kelahirannya, Andong. Dapat izin ataupun tidak yang pasti ia akan nekat pergi.
Tak ada kompromi lagi. Sebelumnya ia sudah menyiapkan sarapan untuk kekasihnya
itu, semua hidangan sudah tersaji dengan manis dimeja makan. Tinggal
membangunkan Kibum, berharap dia berubah pikiran dan bisa ikut pergi
bersamanya.
“Oppa!” panggilnya
ragu. Ia memegang lengan Kibum dan sedikit mengguncang-guncangkannya. Kibum
bangun dan langsung menuju kamar mandi tanpa mengucapkan sepatah katapun pada
gadis yang telah membangunkannya itu. Sabar. Saat ini bukan waktunya untuk
kecewa karena hal sepele seperti itu. Beom menghela napasnya dan tetap menunggu
sampai akhirnya Kibum keluar dari kamar mandi.
“Oppa! Kita bicara
sebentar,” Beom langsung menahan lengan Kibum. Takut pria itu menghindar lagi
darinya.
Kibum menoleh,
“Pergilah..” titahnya. Sepertinya ia sudah tahu apa yang akan dibicarakan
kekasihnya itu.
“Ayo kita pergi bersama.”
Pinta Beom, matanya terlihat sayu berharap Kibum menyetujui. “Mereka.. “ Kalimat
gadis itu tertahan, sejenak berdeham. “Maksudku.. Henry dan Zhoumi sudah
berangkat dari subuh. Jadi, kalau oppa tidak ikut. Aku pergi bawa mobil
sendiri,” lanjutnya. Berharap dengan mengetahui ia berangkat sendiri, kekasihnya
itu akan merasa cemas terhadapnya.
“Pergilah.. masih
banyak pekerjaan yang harus aku bereskan.” Singkat, padat dan jelas. Membuat
Beom tak berani lagi membujuknya.
“Baiklah. Aku pergi!”
Beom mulai mengangkat tasnya dan melangkah gontai menuju pintu keluar.
Sementara Kibum tetap cuek, seperti tidak mau mengurusi kekasihnya itu.
O3:00 pm. Jalanan yang
macet gara-gara sebuah kecelakaan beruntun membuatnya telat tiba di panti yang
pernah menjadi tempat tinggalnya itu. Terlalu sore dari waktu yang
diperkirakannya. Ia masih belum mau beranjak dari mobilnya padahal sudah tiba
di halaman panti sekitar 10 menit yang lalu. Telapak tangannya mengepal ponsel,
kata demi kata ia rangkai sehalus mungkin untuk dikirim pada kekasihnya.
Berharap dia bisa mengerti.
Oppa, aku baru saja tiba di Andong.
Mianhae.. sepertinya aku akan menginap satu malam disini. Jeongmal mianhae,
oppa!
Tidak ada balasan.
Dengan helaan napas panjang ia turun dari mobilnya lalu masuk kedalam panti.
Masalah Kibum akan murka atau tidak dengan keputusannya itu adalah urusan
belakangan. Didalam, hanya ada Zhoumi dan anak-anak panti sedang mempersiapkan
hiasan-hiasan dari kertas untuk acara musik dadakan nanti. Sebuah panggung dari
beberapa meja yang di satukan itu dihias oleh balon-balon ditiap sudutnya.
Alasnya ditutupi sebuah permadani merah yang halus. Acara yang sederhana tapi
akan sangat meriah karena beberapa anak panti akan menunjukan kebolehannya.
Juga Henry sang superstar.
“Henry kemana?” tanya
Beom pada Zhoumi yang sedang sibuk meniup balon.
“Hmm.. mungkin di taman
belakang,” jawabnya tidak yakin.
“Dia pergi sendiri?”
“Iya..”
Beom mengernyit. Aneh,
bagaimana bisa orang buta bisa berkeliaran di tempat asing sendirian. Ia mulai
melangkah pergi, menyusul ke tempat Henry berada. Benar saja, pria itu sedang
duduk di bawah pohon, bersandar. Dan sepertinya sedang melamun. Beom berjalan
pelan, otak usilnya tiba-tiba muncul. Mengejutkan pria itu dengan teriakan yang
sangat keras sepertinya akan menyenangkan. Pikirnya.
Beom berhenti sejenak
ketika Henry mulai bergerak. Dia mengambil sebuah kertas disampingnya dan
menulis sesuatu kemudian seperti menggali tanah di bawah tempat duduknya tadi. Sepertinya
itu bukan hal yang baru pertama dilakukannya, ia sangat hapal betul letaknya. Beom
terpaku, otak usilnya hilang dan berganti menjadi rasa penasaran. “Sedang apa
dia?” gumamnya. Diam dan tetap memperhatikan, entah kenapa akhir-akhir ini pria
buta itu selalu menarik dimatanya. Henry mulai mengambil sesuatu di dalam tanah,
sebuah botol. Lalu dia menggulung kertas tadi dan memasukannya dalam botol itu
kemudian menguburkanya kembali. Setelah itu dia pergi melangkah menuju panti
dengan bantuan sebuah tongkat.
Beom tercekat.
Perasaannya tidak jelas, antara takut dan penasaran. Ia mulai melangkahkan
kakinya ragu menuju pohon itu. Gundukan tanah yang belum padat itu sangat
menarik perhatiannya. Sebuah botol yang tadi Henry kubur, dia ambil kembali.
Karena rasa penasaran yang sangat besar ia mengeluarkan gulungan-gulungan
kertas dalam botol itu lalu membacanya. Tangannya mulai gemetaran, matanya
membulat lebar dan semenit kemudian terlihat genangan air dipelupuk matanya. Ia
terkulai lemas, duduk mematung seperti telah kehilangan jiwanya. Pesan-pesan
berisi ungkapan cinta dan kerinduan itu ditulis atas nama Mochi untuk seseorang
bernama Beom. Yang berarti itu adalah dirinya. Tidak ada reaksi, hanya ada air
mata yang terus mengalir membasahi pipi putihnya.
Syok. Antara percaya
dan tidak, bagaimana bisa temannya itu menjadi buta. Apa mungkin dia salah
orang? Atau mungkin hanya sebuah kebetulan saja, bukannya di dunia ini banyak
sekali yang namanya sama? Sepertinya dia harus mendengar langsung penjelasan
dari artis SM bernama Henry itu. Beom menyeka air matanya dan langsung menyusul
Henry, sepertinya terlalu dini mengambil kesimpulan yang belum pasti
kebenarannya. Mencoba menguatkan diri.
“Henry!” panggil Beom
lirih pada pria yang sedang duduk di teras depan itu. Suara yang sudah tidak
asing itu membuat Henry berdiri seolah menyambut gadis yang telah memanggilnya.
“Ya! Lee Beom, kenapa
kau lama sekali datangnya?” Ia mencoba mendengar derap langkah yang menuju
kearahnya. Setelah suara kaki itu tidak terdengar lagi ia mengulurkan
tangannya. “Tanganmu!” ujarnya seraya menyuruh Beom menyambut tangannya. Beom
menuruti, walau awalnya ragu. Ia mengepal tangan Henry seolah memberi tanda
bahwa dia sudah berada dihadapan pria itu. Dan siap untuk menjadi petunjuk
arahnya.
“Memangnya kau
berangkat pukul berapa di Seoul? Kenapa baru tiba sekarang.” Tanya Henry
meminta penjelasan. Sepertinya pria itu tidak menyadari kehadiran Beom waktu di
taman belakang.
“Pukul 9. Tadi ada
kecelakaan dijalan, jadinya macet total.”
“Oh.. kirain kau tidak
jadi pergi.” Puas. Akhirnya penantiannya selama berjam-jam tidak sia-sia,
terbayar dengan kedatangan Beom disisinya. Ia berdeham, entah kenapa ada
perasaan aneh ketika tangan mereka saling bertaut. Buru-buru ia melepaskan
tangannya.
“Kajja! Kita masuk
kedalam,” tambahnya kemudian.
Beom diam sejenak.
Berpikir, bagaimana caranya ia mengorek hal pribadi tentang Henry tanpa
dicurigainya. “Ah, aku selalu bosen kalau di dalam. Aku ingin jalan-jalan keluar
sana, sepertinya pemandangannya sangat indah.” ujar Beom memancing, berharap
Henry akan mengikuti kemauannya dan menemaninya jalan-jalan. Dan akhirnya dia
berhasil. Ia mulai mengaitkan tangannya di lengan Henry dan berjalan
mengiringinya.
Sudah 15 menit mereka
berjalan, menulusuri sebuah jalan aspal yang cukup bersih. Dikedua sisinya
terdapat hamparan padi yang sudah hampir menguning. Dipematang sawahnya
ditanami tanaman palawija yang sudah siap panen. Para petani yang sedang berada
disana, terlihat sangat akrab dengan Henry. Beberapa orang menyapanya dengan
ramah. Juga anak-anak yang sangat senang ketika bertemu dengannya. Bahkan, satu
anak perempuan terlihat manja dan ingin digendong olehnya. “Oppa, apa nona ini
pacarmu?” tanya anak itu seraya menunjuk Beom.
Henry tertawa kecil dan
mengacak rambut anak itu gemas. “Ani.. nona jelek ini hanya teman oppa.” Beom cemberut mendengarnya, tidak terima dia
disebut jelek.
“Aniyo, oppa. Nona ini
sangat cantik. Kalau sudah besar, aku ingin cantik seperti dia.” ujar anak
perempuan yang bernama Hana itu.
“Oh yah? Masa seh.. apa
mata Hana tidak salah lihat?” Henry terus saja mengejek gadis yang sampingnya
itu, membuat dia kesal dan sedikit mencubit lengannya.
“Aww.. Ya Lee Beom! Aku
hanya bercanda,” Ia menurunkan Hana dari pangkuannya kemudian meraih tangan
Beom dan menggenggamnya hingga jari-jari mereka saling bertaut. Ia menoleh
dengan ukiran senyum menawan. Dan berhasil membuat hati Beom bergetar, dia
berpaling dengan tangan yang menempel didadanya. Berusaha mengontrol detakkan
jantungnya.
“Annyeong Hana..” pamit
Henry pada anak kecil itu. Lalu melangkahkan kakinya, dan membarengi langkahnya
dengan gadis di sampingnnya. Tangan mereka saling menggenggam, membuat
orang-orang yang melihatnya berpikir lain tentang mereka. Seperti sepasang
kekasih yang baru saja merajut sebuah cinta.
“Ehem! Kenapa
orang-orang disini memanggilmu Mochi? Apa ada sejarahnya? Serasa aneh
dengarnya.” tanya Beom diikuti dengan tawaan kecil seperti meledek. Ia mulai
memancing dengan pertanyaan sederhana tapi sangat penting untuknya. Berharap
pria itu jatuh kedalam perangkapnya dan menjawab semua pertanyaan yang
dilontarkannya.
“Emh.. wae? Bukankah
itu nama yang sangat bagus?”
“Bagus seh, tapi
bagaimana bisa nama panggilannya Mochi? Jauh banget dari Henry ke Mochi.” Beom
sedikit terkekeh.
“Itu bukan nama
panggilan. Tapi nama asliku.”
Deg!
Beom menoleh secara
perlahan, memperhatikan wajah Henry dengan seksama. Berharap bahwa pria yang
disampingnya kini, bukan Mochi teman masa kecilnya. “Apa kau pernah tinggal
disini?” Kali ini pertanyaannya frontal, walaupun sedikit terbata-bata.
“Wae? Sepertinya kau
sangat tertarik dengan kehidupannku?” Henry sejenak menghentikan langkahnya dan
menoleh kesamping. Kemudian berjalan kembali.
“Bukankah sebagai
penggemarmu, aku harus tahu segalanya?” Beom tertawa renyah, berusaha
menghilangkan kecurigaan Henry padanya. Pintar. Dia memang jago berkilah.
“Mmm.. aku lahir disini.”
ucap Henry pelan.
“Owh.. Jadi, orang
tuamu asli sini terus pindah ke China?” Beom terus melontarkan
pertanyaan-pertanyaan yang memancing. Supaya pembicaraan mereka terus berlanjut
tanpa jeda.
“Ani.. mereka orang
China asli.” Henry terlihat menghela napas, sepertinya dia sedang mengumpulkan
sedikit kekuatan untuk melanjutkan ceritanya. “Aku lahir disini, di sebuah
panti. Entahlah siapa orang tuaku, aku belum pernah melihatnya. Selama 9 tahun
aku hidup sebagai anak panti, hidup dengan anak-anak yang sama nasibnya
denganku.” Ia sejenak menarik napas panjang, bibirnya mulai bergetar seperti
tak kuasa untuk melanjutkan. Beom menghentikan langkah, seperti terkena setrum
dari aliran listrik yang super besar. Diam mematung, tidak bisa bergerak
sedikitpun. Dia sekarang yakin, kalau pria disampingnnya itu adalah teman masa
kecilnya, Mochi.
Henry melanjutkan,
“Tapi aku beruntung, akhirnya diadopsi dan bisa hidup layak seperti sekarang.”
Senyuman yang Henry
ukir, tidak mampu mengobati hati Beom. Dia rapuh, sepertinya sangat susah
menerima keadaan Henry yang buta seperti ini. Matanya mulai berkaca-kaca, dan
dengan bibir yang bergetar ia terus melanjutkan pertanyaan. “Lalu kenapa matamu
bisa menjadi buta?” Terdengar lirih.
Henry sejenak terdiam,
sepertinya agak ragu untuk menjawab pertanyaan sensitif seperti itu. Bagaimana
bisa kekasih SM itu mengetahui banyak hal tentangnya. Apa dia benar-benar
penggemarnya? Pertanyaan seperti itu terus berkecambuk dalam benaknya. Tidak
dipungkiri, kalau ia memang merasa nyaman bercerita pada gadis itu, bebannya
sedikit berkurang. Dan tanpa ia sadar sesuatu yang selama ini dirahasiakannya,
identitas aslinya, semuanya ia bongkar pada Beom.
“Kecelakaan. Waktu
kecil mataku tertusuk pagar taman saat akan melewatinya.”
Beom tercekat. Kakinya
seolah sudah tidak mampu lagi menahan beban tubuhnya. Air mata yang ia
tahan-tahan dari tadi, mengalir deras membasahi hampir seluruh pipi mulusnya.
Bibirnya mulai bergetar hebat. Isakan yang akan keluar ia tahan, tangannya
membekap kuat mulutnya. Jawaban yang benar-benar sangat menyakitkan baginya.
Bagaimana bisa, Henry meng-klaim kecelakaan yang pernah dialaminya sebagai
penyebab matanya menjadi buta.
“Lee Beom!” panggil
Henry ketika ia tidak mendengar respon dari gadis itu, tangan mulus yang dari
tadi menggenggam telapak tangannya mulai melonggar lalu terlepas.
“Lee Beom!!” panggilnya
lagi. Beom tetap bungkam, jatuh terduduk dengan kedua tangan yang membekap
mulutnya. Berusaha supaya tangisannya yang semakin menjadi tidak sampai
terdengar keluar.
Zhoumi POV
Setelah mencari selama
15 menit, akhirnya aku menemukan kedua orang itu. Aku mengeryit ketika melihat
nona Park terduduk. Sedangkan Henry merentangkan kedua tangannya seperti sedang
mencari. Apa mereka sedang main pentak umpet? Aku hanya tersenyum, sungguh
kekanak-kanakan sekali. Aku menghampiri mereka dan terkejut ketika melihat nona
Park menangis. Dia mendongak kearahku, dan menempelkan jari telunjuknya di
bibir seolah menyuruhku untuk diam. Kemudian secara perlahan, ia mulai bangkit
dan pergi menjauhi kami. Langkah kakinya yang gontai membuatku khawatir, apa
yang sebenarnya terjadi padanya?
Aku terkesiap ketika
Henry semakin keras memanggil namanya. Terdengar panik. Aku menoleh padanya dan
meraih tangannya. “Ya! Lee Beom! Kenapa kau diam saja. Membuatku takut saja.”
Ujarnya.
“Ini aku.”
Henry diam. Kedua alisnya
saling bertaut, seperti penuh tanya. Entah kecewa karena aku yang meraih
tangannya atau dia terkejut dengan keberadaanku yang tiba-tiba.
“Hyung, mana Lee Beom?”
tanyanya padaku.
“Nona Park sudah
pergi,”
Mampus! Apa lagi yang
harus aku katakan padanya? Tidak mungkin
aku memberitahunya kalau nona Park pergi dalam keadaan menangis. Aku lihat
Henry tidak puas dengan jawaban asalku itu. Aneh, mungkin itu yang ada dalam
benaknya.
“Sepertinya terjadi
sesuatu. Tadi aku melihat nona Park mengangkat ponselnya, setelah itu ia
buru-buru pergi.” Aku menghela napas, berharap Henry percaya dengan dustaku
itu.
Owh! Kata terakhir yang
aku dengar darinya. Terlihat kecewa, tapi aku rasa dia percaya dengan
perkataanku. Syukurlah.
End Zhoumi POV
Continue..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar