Kamis, 08 Maret 2012

FF/My Inspiration/Part 6/Henry Lau, Kim Kibum, Park Lee Beom [OC]/Romance, Friendship/PG17


My Inspiration
By : Ulie Aya’aya Wae


Rate : PG17
Lenght : Chapter
Main Cast : Henry Lau, Kim Kibum, Park Lee Beom [OC]
Other Cast : Zhoumi, Hyosun, Park Jungsoo

Sekilas info : Beom dan Mochi adalah anak panti asuhan yang tinggal di daerah Andong. Saat Beom kecil, ia mengalami kecelakaan yang mengakibatkan matanya menjadi buta. Setelah itu dia diadopsi oleh Park Jungsoo dan namanya nya pun berubah menjadi Park Lee Beom. Sedangkan Mochi yang mendonorkan matanya tanpa sepengetahuan Beom, diadopsi oleh seorang dermawan dari China setahun setelahnya. Dan diberi nama Henry Lau oleh keluarga angkatnya.
Jadi wajar aja kalau mereka susah saling mengenali. Yang sudah lupa awalnya, mending baca part 1  nya lagi aja yah ^^ Happy reading!!


Hubungan antara direktur SM dan anak angkat keluarga Park kini semakin dingin. Kecemburuan yang terlalu besar dan masalah yang didiamkan berlarut-larut menjadi penyebab awal dari ketidakharmonisan hubungan mereka. Rencana yang telah disusun rapi oleh gadis yang biasa di panggil Beom itu pun menjadi berantakan. Jadwal keberangkatannya hari ini ke Andong harus dibatalkannya karena tidak mendapat izin dari kekasihnya itu. Sekarang ia hanya duduk cemberut di ruangan direktur SM itu. Pakaian yang sudah ia packing untuk keperluan menginap dua hari pun terpaksa harus dibawa pulang lagi dan disimpan dilemari. Menyebalkan! Berkali kali ia mendengus kesal, kekasih yang dipuja-pujanya itu ternyata hanya seorang pria pencemburu dan egois plus over protective. Kebaikan-kebaikan dari pria tampan itu seolah telah hilang dimatanya. Hari ini ia benar-benar marah, rasanya ingin ia berdiri dihadapan kekasihnya itu terus memakinya sampai puas. Tapi sayangnya ia tiada daya, lebih baik mengalah sekarang supaya bisa membujuknya lain kali. Berharap, suatu saat kekasihnya itu bisa mengizinkannya pergi. Yah, di pending satu minggu ia rasa bukan suatu masalah.
“Aku pergi!” pamit Beom pada direktur SM itu. Tanpa melihat reaksi Kibum, gadis itu langsung bergegas meninggalkan ruangan. Kibum hanya mampu melihat punggung kekasihnya itu menjauh dari pandangannya. Sejenak ia menarik napas panjang.

Terlihat ragu saat Beom akan memasuki apartemen Henry. Disana sudah ada Zhoumi yang sedang sibuk mendata barang-barang yang akan disumbangkan. Dengan langkah yang berat Beom menghampiri mereka dan duduk di teras seraya ikut membantu mengepak barang-barang itu. Tidak tahu bagaimana harus memulai, rasanya sangat sulit untuk berkata ‘aku tidak akan ikut’ sampai akhirnya barang-barangnya sudah siap dan hanya tinggal pergi.
“Mianhae.. aku tidak jadi ikut pergi.” ucap Beom pelan sambil menyodorkan amplop berisi uang sumbangan itu pada Henry dan Zhoumi. Dua pria itu tampak heran, menautkan kedua alisnya ingin tahu alasannya.
“Tadinya memang akan pergi. Tapi ada keperluan penting dan mendadak yang tidak bisa aku tinggalkan. Kalian pergi saja berdua dan sampaikan salamku pada anak-anak disana,” lanjut Beom mencoba menjelaskan. Dan untuk menyembunyikan kebohongannya itu ia tersenyum semanis mungkin.
Tidak ada komentar. Sepertinya pria-pria itu sedikit kecewa dengan keputusan dadakan Beom itu. Semangat untuk pergi ke Andong yang awal-awalnya menggebu itu sepertinya sekarang sudah melemah.
“Apa kalau minggu depan kau bisa ikut pergi?” tanya Henry tiba-tiba membuat Zhoumi menoleh kearahnya.
Beom menatap kedua pria itu bergantian. “Entahlah, akan aku usahakan. Jujur, aku juga sangat ingin pergi ke sana.”
“Ya sudah.. Kita pergi minggu depan saja. Bagaimana hyung?” saran Henry sekaligus meminta persetujuan dari Zhoumi.
“Terserah saja. Tapi, apakah jadwalmu tidak akan terganggu?”
Mendengar pertanyaan Zhoumi, Henry agak sedikit ragu. Mengingat hari selasanya ia harus tampil disebuah acara pernikahan temannya.
“Ga apa-apa. Kita pergi tanpa menginap. Jadi aku masih punya waktu satu hari untuk istirahat. Ottoke Beom?”
Beom mengernyit, untuk pertama kalinya Henry memanggilnya Beom. Terasa aneh, walaupun nama tersebut sudah biasa menjadi panggilannya. Terasa berbeda, ketika Henry yang mengucapkannya. “Baiklah. Tapi apakah benar tidak mengganggu pekerjaanmu?”
Henry menggeleng. “Baiklah. Kita berangkat minggu depan. Sekarang aku ada waktu latihan untuk menghibur mereka juga disana.” ucapnya riang.

Akhirnya mereka bertiga menyusun ulang lagi rencana. Bukan hanya sekedar memberikan uang dan barang. Tapi mereka juga akan membuat pertunjukan kecil untuk menghibur anak-anak panti asuhan disana. Rencananya mereka akan pergi pagi-pagi sekali dan acara musiknya akan dimulai sore hari sampai malam. Setelah semuanya selesai mereka akan langsung pulang kembali ke Seoul.

Setelah mendapatkan kesepakatan seperti itu, Zhoumi memutuskan untuk pulang terlebih dahulu. Sekarang tinggal Beom dan Henry di apartemen serba putih itu. Tiba-tiba suasananya menjadi agak canggung, untuk menghilangkan itu Henry pura-pura latihan. Piano dan biola ia mainkan secara bergantian. Suara merdunya mampu membuat Beom merasa betah berada di rumah yang seminggu terakhir ini sering di kunjunginya itu. Lambat-laun kecanggungan itu pun hilang dan akhirnya Beom ikut bernyanyi bersamanya.

“Park Lee Beom.” gumam Henry seperti mengingat-ingat sesuatu. Merasa namanya di panggil Beom menoleh dengan satu alis terangkat.
“Nama yang bagus.” Henry diam sejenak, “Bolehkah aku memanggilmu Beom seperti yang lain?” tanyanya meminta persetujuan.
“Mmm..” Beom hanya bergumam. Lalu diam, sibuk memikirkan bagaimana ia harus meminta izin lagi pada  kekasihnya untuk pergi ke Andong minggu depan. Jujur, ia sendiri tidak yakin akan mendapatkan izin itu. Tak ada cara lain, selain berbohong.
Tidak mendengar suara gadis yang disampingnya selama beberapa menit, Henry memegang kedua pundak Beom. “Diam sebentar,” titahnya. Lalu menggerakan tubuh gadis itu supaya duduk membelakanginya. Jari telunjuknya mulai menuliskan satu persatu huruf di punggung Beom sampai menjadi sebuah kata tanya ‘Wae?’
“Ani..” Beom terkesiap dan langsung membenarkan posisi duduknya ke semula. Hebat, artis SM  itu seolah bisa menerka kalau dirinya memang sedang banyak pikiran.
“Yah sudah kalau tidak mau cerita,” kata Henry. Beom menoleh, bagaimana bisa orang yang baru beberapa bulan ini dikenalnya seolah bisa mengerti apa yang ada dalam hatinya.
“Menurutmu, apa yang sedang aku pikirkan?” tanya Beom seolah mengetes.
“Entahlah. Yang pasti kau membohongiku.”
Beom mengernyit mendengarnya, apa maksudnya Henry berbicara seperti itu. Apa mungkin dia mengetahui sesuatu tentangnya?
“Kau bilang ada keperluan mendadak. Tapi buktinya, kau masih di sini sampai sekarang,” lanjut Henry yang berhasil membuat mata Beom membulat lebar. Payah! Ternyata dustanya bisa terbongkar dengan mudah. Gadis itu terlihat gelagapan dan langsung beranjak dari duduknya, “Ani.. sekarang juga aku akan pergi,”
Henry menarik lengannya dan berhasil membuat Beom duduk kembali di sampingnya. “Sebelum kau pergi, buatkan dulu aku ramyun. Bisakan?”
Beom berdesis kesal. Tapi ternyata, dia mau juga membuatkannya. Satu porsi ramyun spesial sudah siap disantap. Beom hanya duduk dihadapan Henry dan melihatnya makan. Berkali-kali Henry menawarinya makan, tapi dia menolak. Dan hanya memerhatikan seolah dia menemukan pemandangan yang sangat indah. Kadang bibirnya menyungging, betapa lucunya pria yang berada dihadapannya itu. Rasanya tidak ingin jauh darinya.
“Ayolah makan.. Aku tidak enak makan sendiri, Nih!” Henry memaksa. Ia menyodorkan mie kenyal itu dengan sumpitnya tepat dihadapan Beom.
“Aku tidak lapar.”
“Makan tuh bukan berarti harus menunggu lapar, Beom-ah. Tapi, juga untuk memberi tubuhmu tenaga.”
Tidak tahu lagi harus bicara apa. Tidak ada kata-kata untuk berkilah, gadis itu akhirnya menyerah. Bujukan Henry selalu bisa membuatnya luluh. “Baiklah, aku makan.” Beom mengambil sumpit lain dan akhirnya makan bersama Henry dalam mangkuk yang sama.
“Adikmu sangat cantik.” ujar Beom ketika melihat foto keluarga yang terpajang di dinding bercat putih itu. “Sepertinya tidak jauh umurnya denganmu,”
“Iya.. kami hanya berbeda satu tahun.” balas Henry.
“Apa kau tidak rindu pada mereka?”
Henry tersenyum tipis. “Mana mungkin tidak rindu. Aku sangat ingin pulang ke China, tapi pekerjaan membelengguku. Ternyata, berkarir di Korea itu tidak enak. Sangat ketat!”
“Terus kenapa akhirnya kau memutuskan untuk ke Seoul?”
“Tadinya hanya ingin menemukan seseorang.”
“Siapa?”
“Cinta masa kecilku.”
Hening. Jantungnya tiba-tiba berhenti berdetak beberapa detik. Entah karena syok mendengarnya, atau karena ia merasa hatinya terluka. Gadis itu bungkam, tidak mau lagi terlibat lebih jauh tentang kehidupan pribadi idolanya itu. Beom berdeham, sejenak merapihkan bajunya yang agak sedikit kusut. Kemudian berpamitan. “Aku pulang dulu, sudah hampir sore.”

Henry POV
“Aku pulang dulu, sudah hampir sore.”
Aku sedikit kecewa. Kenapa disaat aku ingin bercerita banyak padanya, ia harus pergi. Aku berharap ketika aku menceritakan sesuatu padanya. Dia juga bisa terbuka padaku, bisa menceritakan apa yang ada dalam benaknya padaku. Hari ini Beom berbeda, tidak banyak bicara seperti biasanya. Bahkan saat aku mengerjainya, tanggapannya datar. Seolah sudah malas dengan semua candaanku. Tapi, aku bersyukur untuk hari ini karena masih bisa mendenngar suaranya. Aku harap suatu saat nanti bukan hanya mendengar suaranya, tapi juga bisa melihatnya.
End Henry POV

Sesampainya dirumah, Beom malah merasa bosan. Tatapan dingin kekasihnya itu membuatnya tidak betah. Sungguh menyesal buru-buru pulang dari rumah Henry, harusnya ia mengulur sedikit waktunya. Jadi ketika sampai di rumahnya hari sudah berubah malam dan dia punya alasan untuk langsung tidur. Mmm.. andaisaja.
Beom diam di balkon, hanya untuk melihat langit yang sudah menguning dan matahari yang mulai pulang keperaduannya. Menyibukkan diri dengan pensil dan sehelai kertas putih supaya tidak beradu pandang dengan kekasihnya. Dimenit ke 30 mulai ada gangguan, Shit! Orang yang tidak ingin dilihatnya malah datang menghampiri. Beom pura-pura kembali fokus kegambarnya, kedua matanya memandang ke arah langit dan sehelai kertas di atas meja secara bergantian seolah mengecek sejauh mana hasilnya, alibi yang sempurna.
“Kemana saja tadi?” tanya Kibum, ia berdiri dihadapan Beom seolah menghalangi objek dan mengganggu aktivitas menggambar gadis itu.
“Pergi ke rumah teman.” Jawabnya datar.
“Siapa? Henry?”
Terkaan Kibum hanya mendapat gumaman dari gadis itu, “Mmm...”
“Jadi, sekarang kau sudah mulai bermain ke rumahnya, Beom-ah?” Beom mendongak, menunggu apa yang akan dikatakan kekasihnya itu selanjutnya. “Kau sengaja ingin memancing amarahku?” Terlihat geram, matanya mulai mebulat lebar.
“Jadi apa yang harus aku katakan, Oppa! Jujur salah, bohong juga salah! Apa yang sebenarnya ingin kau dengar dariku?” tanya Beom dengan nada yang sedikit tinggi. Sejenak menghela napas panjang, mencoba mengatur emosinya. Kemudian ia melanjutkan, “Aku hanya memberi tahunya kalau keberangkatan hari ini ke Andong batal. Itu saja!” Terdengar lirih.
Kibum terkekeh, “Lucu sekali! Apa hanya untuk memberitahunya perlu waktu sampai 5 jam?”
Sindiran Kibum berhasil membungkam mulutnya. Tidak tahu lagi harus menjelaskan apa, gadis itu menatap nanar kekasihnya. Seolah memintanya untuk mengakhiri pembicaraan. Cukup. Tidak ingin amarahnya sampai membludak. Beom tidak tahu sama sekali kalau kekasihnya itu hari ini tidak kerja. Beberapa menit setelah Beom meninggalkan kantornya tadi pagi, ia juga ikut pergi. Pulang ke rumah untuk berbicara dengannya. Tapi sayang, dia malah tidak ada. Dari situ Kibum tahu seberapa lama kekasihnya itu menghabiskan waktu di luar.
“Dia artisku, Beom-ah. Kalau sampai terjadi scandal. Bukan hanya aku, kau, dan dia. Tapi, juga perusahaan akan terbawa-bawa.” Kibum mencoba menjelaskan, nadanya menurun berharap kekasihnya itu bisa mengerti apa yang dikatakannya.
“Aku tahu oppa, bagaimana perasaanku. Dan aku tahu bagaimana harus bersikap! Jangan khawatir, apa yang aku lakukan dengannya tidak akan mengundang konsumsi publik.” Beom mencoba membela diri.
“Ani.. kau tidak tahu apa-apa tentang dunia hiburan korea. Sekali wartawan mencium bau amis, maka akan terus menggerubuninya seperti gula. Satu hal terbongkar, maka siap-siap semuanya akan muncul dimedia.” Lelah. Sepertinya percuma menjelaskan panjang lebar pada kekasihnya itu. Kibum melangkah pergi, diam sejenak dengan wajah membelakangi gadis itu, “Apa kau yakin perasaanmu tidak berubah? Aku sama sekali tidak melihat rasa suka seorang fans pada idolanya. Tapi lebih. Kenali hatimu sendiri, Beom-ah!”
Sakit. Apa yang dikatakan Kibum seperti langsung menyayat hatinya. Gadis berzodiak cancer itu sekarang hanya bisa merenung. Buliran air menetes begitu saja dari pelupuk matanya. Entah karena merasa di fitnah, atau memang dia sendiri menyadari perasaannya sedikit berubah. Hatinya mendua.
Ini merupakan pertengkaran dan perdebatan paling parah selama mereka berhubungan. Tidak ada candaan untuk memulihkan kondisi ini seperti biasanya. Keduanya sekarang tidak mau mengalah, egois. Merasa pendapatnya adalah yang paling benar. Lama-kelamaan semakin parah. Dingin. Bicarapun hanya seperlunya, hilang sudah keakraban diantara mereka, seperti ada tembok besar yang menutupi setiap langkah mereka. Buntu, susah mencari jalan keluar untuk masalah mereka. Bahkan mereka selalu berpaling ketika berhadapan langsung. Dan hanya bisa memperhatikan secara diam-diam. Kibum masih setia menahan kantuknya hanya untuk melihat Beom tertidur pulas lalu dia akan mencium keningnya sebagai ucapan selamat malam. Sementara Beom masih rajin mengantarkan makan siang untuk direktur SM itu. Meletakan bekal itu diatas meja kerjanya ketika Kibum tidak ada. Dan akan membangunkannya dengan kecupan ketika direktur SM itu tertidur disaat jam kerja. Kemudian akan segera menghilang.


Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Beom sudah bersiap-siap untuk pergi ke tempat kelahirannya, Andong. Dapat izin ataupun tidak yang pasti ia akan nekat pergi. Tak ada kompromi lagi. Sebelumnya ia sudah menyiapkan sarapan untuk kekasihnya itu, semua hidangan sudah tersaji dengan manis dimeja makan. Tinggal membangunkan Kibum, berharap dia berubah pikiran dan bisa ikut pergi bersamanya.
“Oppa!” panggilnya ragu. Ia memegang lengan Kibum dan sedikit mengguncang-guncangkannya. Kibum bangun dan langsung menuju kamar mandi tanpa mengucapkan sepatah katapun pada gadis yang telah membangunkannya itu. Sabar. Saat ini bukan waktunya untuk kecewa karena hal sepele seperti itu. Beom menghela napasnya dan tetap menunggu sampai akhirnya Kibum keluar dari kamar mandi.
“Oppa! Kita bicara sebentar,” Beom langsung menahan lengan Kibum. Takut pria itu menghindar lagi darinya.
Kibum menoleh, “Pergilah..” titahnya. Sepertinya ia sudah tahu apa yang akan dibicarakan kekasihnya itu.
“Ayo kita pergi bersama.” Pinta Beom, matanya terlihat sayu berharap Kibum menyetujui. “Mereka.. “ Kalimat gadis itu tertahan, sejenak berdeham. “Maksudku.. Henry dan Zhoumi sudah berangkat dari subuh. Jadi, kalau oppa tidak ikut. Aku pergi bawa mobil sendiri,” lanjutnya. Berharap dengan mengetahui ia berangkat sendiri, kekasihnya itu akan merasa cemas terhadapnya.
“Pergilah.. masih banyak pekerjaan yang harus aku bereskan.” Singkat, padat dan jelas. Membuat Beom tak berani lagi membujuknya.
“Baiklah. Aku pergi!” Beom mulai mengangkat tasnya dan melangkah gontai menuju pintu keluar. Sementara Kibum tetap cuek, seperti tidak mau mengurusi kekasihnya itu.

O3:00 pm. Jalanan yang macet gara-gara sebuah kecelakaan beruntun membuatnya telat tiba di panti yang pernah menjadi tempat tinggalnya itu. Terlalu sore dari waktu yang diperkirakannya. Ia masih belum mau beranjak dari mobilnya padahal sudah tiba di halaman panti sekitar 10 menit yang lalu. Telapak tangannya mengepal ponsel, kata demi kata ia rangkai sehalus mungkin untuk dikirim pada kekasihnya. Berharap dia bisa mengerti.
Oppa, aku baru saja tiba di Andong. Mianhae.. sepertinya aku akan menginap satu malam disini. Jeongmal mianhae, oppa!
Tidak ada balasan. Dengan helaan napas panjang ia turun dari mobilnya lalu masuk kedalam panti. Masalah Kibum akan murka atau tidak dengan keputusannya itu adalah urusan belakangan. Didalam, hanya ada Zhoumi dan anak-anak panti sedang mempersiapkan hiasan-hiasan dari kertas untuk acara musik dadakan nanti. Sebuah panggung dari beberapa meja yang di satukan itu dihias oleh balon-balon ditiap sudutnya. Alasnya ditutupi sebuah permadani merah yang halus. Acara yang sederhana tapi akan sangat meriah karena beberapa anak panti akan menunjukan kebolehannya. Juga Henry sang superstar.
“Henry kemana?” tanya Beom pada Zhoumi yang sedang sibuk meniup balon.
“Hmm.. mungkin di taman belakang,” jawabnya tidak yakin.
“Dia pergi sendiri?”
“Iya..”
Beom mengernyit. Aneh, bagaimana bisa orang buta bisa berkeliaran di tempat asing sendirian. Ia mulai melangkah pergi, menyusul ke tempat Henry berada. Benar saja, pria itu sedang duduk di bawah pohon, bersandar. Dan sepertinya sedang melamun. Beom berjalan pelan, otak usilnya tiba-tiba muncul. Mengejutkan pria itu dengan teriakan yang sangat keras sepertinya akan menyenangkan. Pikirnya.
Beom berhenti sejenak ketika Henry mulai bergerak. Dia mengambil sebuah kertas disampingnya dan menulis sesuatu kemudian seperti menggali tanah di bawah tempat duduknya tadi. Sepertinya itu bukan hal yang baru pertama dilakukannya, ia sangat hapal betul letaknya. Beom terpaku, otak usilnya hilang dan berganti menjadi rasa penasaran. “Sedang apa dia?” gumamnya. Diam dan tetap memperhatikan, entah kenapa akhir-akhir ini pria buta itu selalu menarik dimatanya. Henry mulai mengambil sesuatu di dalam tanah, sebuah botol. Lalu dia menggulung kertas tadi dan memasukannya dalam botol itu kemudian menguburkanya kembali. Setelah itu dia pergi melangkah menuju panti dengan bantuan sebuah tongkat.
Beom tercekat. Perasaannya tidak jelas, antara takut dan penasaran. Ia mulai melangkahkan kakinya ragu menuju pohon itu. Gundukan tanah yang belum padat itu sangat menarik perhatiannya. Sebuah botol yang tadi Henry kubur, dia ambil kembali. Karena rasa penasaran yang sangat besar ia mengeluarkan gulungan-gulungan kertas dalam botol itu lalu membacanya. Tangannya mulai gemetaran, matanya membulat lebar dan semenit kemudian terlihat genangan air dipelupuk matanya. Ia terkulai lemas, duduk mematung seperti telah kehilangan jiwanya. Pesan-pesan berisi ungkapan cinta dan kerinduan itu ditulis atas nama Mochi untuk seseorang bernama Beom. Yang berarti itu adalah dirinya. Tidak ada reaksi, hanya ada air mata yang terus mengalir membasahi pipi putihnya.
Syok. Antara percaya dan tidak, bagaimana bisa temannya itu menjadi buta. Apa mungkin dia salah orang? Atau mungkin hanya sebuah kebetulan saja, bukannya di dunia ini banyak sekali yang namanya sama? Sepertinya dia harus mendengar langsung penjelasan dari artis SM bernama Henry itu. Beom menyeka air matanya dan langsung menyusul Henry, sepertinya terlalu dini mengambil kesimpulan yang belum pasti kebenarannya. Mencoba menguatkan diri.
“Henry!” panggil Beom lirih pada pria yang sedang duduk di teras depan itu. Suara yang sudah tidak asing itu membuat Henry berdiri seolah menyambut gadis yang telah memanggilnya.
“Ya! Lee Beom, kenapa kau lama sekali datangnya?” Ia mencoba mendengar derap langkah yang menuju kearahnya. Setelah suara kaki itu tidak terdengar lagi ia mengulurkan tangannya. “Tanganmu!” ujarnya seraya menyuruh Beom menyambut tangannya. Beom menuruti, walau awalnya ragu. Ia mengepal tangan Henry seolah memberi tanda bahwa dia sudah berada dihadapan pria itu. Dan siap untuk menjadi petunjuk arahnya.
“Memangnya kau berangkat pukul berapa di Seoul? Kenapa baru tiba sekarang.” Tanya Henry meminta penjelasan. Sepertinya pria itu tidak menyadari kehadiran Beom waktu di taman belakang.
“Pukul 9. Tadi ada kecelakaan dijalan, jadinya macet total.”
“Oh.. kirain kau tidak jadi pergi.” Puas. Akhirnya penantiannya selama berjam-jam tidak sia-sia, terbayar dengan kedatangan Beom disisinya. Ia berdeham, entah kenapa ada perasaan aneh ketika tangan mereka saling bertaut. Buru-buru ia melepaskan tangannya.
“Kajja! Kita masuk kedalam,” tambahnya kemudian.
Beom diam sejenak. Berpikir, bagaimana caranya ia mengorek hal pribadi tentang Henry tanpa dicurigainya. “Ah, aku selalu bosen kalau di dalam. Aku ingin jalan-jalan keluar sana, sepertinya pemandangannya sangat indah.” ujar Beom memancing, berharap Henry akan mengikuti kemauannya dan menemaninya jalan-jalan. Dan akhirnya dia berhasil. Ia mulai mengaitkan tangannya di lengan Henry dan berjalan mengiringinya.
Sudah 15 menit mereka berjalan, menulusuri sebuah jalan aspal yang cukup bersih. Dikedua sisinya terdapat hamparan padi yang sudah hampir menguning. Dipematang sawahnya ditanami tanaman palawija yang sudah siap panen. Para petani yang sedang berada disana, terlihat sangat akrab dengan Henry. Beberapa orang menyapanya dengan ramah. Juga anak-anak yang sangat senang ketika bertemu dengannya. Bahkan, satu anak perempuan terlihat manja dan ingin digendong olehnya. “Oppa, apa nona ini pacarmu?” tanya anak itu seraya menunjuk Beom.
Henry tertawa kecil dan mengacak rambut anak itu gemas. “Ani.. nona jelek ini hanya teman oppa.”  Beom cemberut mendengarnya, tidak terima dia disebut jelek.
“Aniyo, oppa. Nona ini sangat cantik. Kalau sudah besar, aku ingin cantik seperti dia.” ujar anak perempuan yang bernama Hana itu.
“Oh yah? Masa seh.. apa mata Hana tidak salah lihat?” Henry terus saja mengejek gadis yang sampingnya itu, membuat dia kesal dan sedikit mencubit lengannya.
“Aww.. Ya Lee Beom! Aku hanya bercanda,” Ia menurunkan Hana dari pangkuannya kemudian meraih tangan Beom dan menggenggamnya hingga jari-jari mereka saling bertaut. Ia menoleh dengan ukiran senyum menawan. Dan berhasil membuat hati Beom bergetar, dia berpaling dengan tangan yang menempel didadanya. Berusaha mengontrol detakkan jantungnya.
“Annyeong Hana..” pamit Henry pada anak kecil itu. Lalu melangkahkan kakinya, dan membarengi langkahnya dengan gadis di sampingnnya. Tangan mereka saling menggenggam, membuat orang-orang yang melihatnya berpikir lain tentang mereka. Seperti sepasang kekasih yang baru saja merajut sebuah cinta.
“Ehem! Kenapa orang-orang disini memanggilmu Mochi? Apa ada sejarahnya? Serasa aneh dengarnya.” tanya Beom diikuti dengan tawaan kecil seperti meledek. Ia mulai memancing dengan pertanyaan sederhana tapi sangat penting untuknya. Berharap pria itu jatuh kedalam perangkapnya dan menjawab semua pertanyaan yang dilontarkannya.
“Emh.. wae? Bukankah itu nama yang sangat bagus?”
“Bagus seh, tapi bagaimana bisa nama panggilannya Mochi? Jauh banget dari Henry ke Mochi.” Beom sedikit terkekeh.
“Itu bukan nama panggilan. Tapi nama asliku.”
Deg!
Beom menoleh secara perlahan, memperhatikan wajah Henry dengan seksama. Berharap bahwa pria yang disampingnya kini, bukan Mochi teman masa kecilnya. “Apa kau pernah tinggal disini?” Kali ini pertanyaannya frontal, walaupun sedikit terbata-bata.
“Wae? Sepertinya kau sangat tertarik dengan kehidupannku?” Henry sejenak menghentikan langkahnya dan menoleh kesamping. Kemudian berjalan kembali.
“Bukankah sebagai penggemarmu, aku harus tahu segalanya?” Beom tertawa renyah, berusaha menghilangkan kecurigaan Henry padanya. Pintar. Dia memang jago berkilah.
“Mmm.. aku lahir disini.” ucap Henry pelan.
“Owh.. Jadi, orang tuamu asli sini terus pindah ke China?” Beom terus melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang memancing. Supaya pembicaraan mereka terus berlanjut tanpa jeda.
“Ani.. mereka orang China asli.” Henry terlihat menghela napas, sepertinya dia sedang mengumpulkan sedikit kekuatan untuk melanjutkan ceritanya. “Aku lahir disini, di sebuah panti. Entahlah siapa orang tuaku, aku belum pernah melihatnya. Selama 9 tahun aku hidup sebagai anak panti, hidup dengan anak-anak yang sama nasibnya denganku.” Ia sejenak menarik napas panjang, bibirnya mulai bergetar seperti tak kuasa untuk melanjutkan. Beom menghentikan langkah, seperti terkena setrum dari aliran listrik yang super besar. Diam mematung, tidak bisa bergerak sedikitpun. Dia sekarang yakin, kalau pria disampingnnya itu adalah teman masa kecilnya, Mochi.
Henry melanjutkan, “Tapi aku beruntung, akhirnya diadopsi dan bisa hidup layak seperti sekarang.”
Senyuman yang Henry ukir, tidak mampu mengobati hati Beom. Dia rapuh, sepertinya sangat susah menerima keadaan Henry yang buta seperti ini. Matanya mulai berkaca-kaca, dan dengan bibir yang bergetar ia terus melanjutkan pertanyaan. “Lalu kenapa matamu bisa menjadi buta?” Terdengar lirih.
Henry sejenak terdiam, sepertinya agak ragu untuk menjawab pertanyaan sensitif seperti itu. Bagaimana bisa kekasih SM itu mengetahui banyak hal tentangnya. Apa dia benar-benar penggemarnya? Pertanyaan seperti itu terus berkecambuk dalam benaknya. Tidak dipungkiri, kalau ia memang merasa nyaman bercerita pada gadis itu, bebannya sedikit berkurang. Dan tanpa ia sadar sesuatu yang selama ini dirahasiakannya, identitas aslinya, semuanya ia bongkar pada Beom.
“Kecelakaan. Waktu kecil mataku tertusuk pagar taman saat akan melewatinya.”
Beom tercekat. Kakinya seolah sudah tidak mampu lagi menahan beban tubuhnya. Air mata yang ia tahan-tahan dari tadi, mengalir deras membasahi hampir seluruh pipi mulusnya. Bibirnya mulai bergetar hebat. Isakan yang akan keluar ia tahan, tangannya membekap kuat mulutnya. Jawaban yang benar-benar sangat menyakitkan baginya. Bagaimana bisa, Henry meng-klaim kecelakaan yang pernah dialaminya sebagai penyebab matanya menjadi buta.
“Lee Beom!” panggil Henry ketika ia tidak mendengar respon dari gadis itu, tangan mulus yang dari tadi menggenggam telapak tangannya mulai melonggar lalu terlepas.
“Lee Beom!!” panggilnya lagi. Beom tetap bungkam, jatuh terduduk dengan kedua tangan yang membekap mulutnya. Berusaha supaya tangisannya yang semakin menjadi tidak sampai terdengar keluar.

Zhoumi POV
Setelah mencari selama 15 menit, akhirnya aku menemukan kedua orang itu. Aku mengeryit ketika melihat nona Park terduduk. Sedangkan Henry merentangkan kedua tangannya seperti sedang mencari. Apa mereka sedang main pentak umpet? Aku hanya tersenyum, sungguh kekanak-kanakan sekali. Aku menghampiri mereka dan terkejut ketika melihat nona Park menangis. Dia mendongak kearahku, dan menempelkan jari telunjuknya di bibir seolah menyuruhku untuk diam. Kemudian secara perlahan, ia mulai bangkit dan pergi menjauhi kami. Langkah kakinya yang gontai membuatku khawatir, apa yang sebenarnya terjadi padanya?
Aku terkesiap ketika Henry semakin keras memanggil namanya. Terdengar panik. Aku menoleh padanya dan meraih tangannya. “Ya! Lee Beom! Kenapa kau diam saja. Membuatku takut saja.” Ujarnya.
“Ini aku.”
Henry diam. Kedua alisnya saling bertaut, seperti penuh tanya. Entah kecewa karena aku yang meraih tangannya atau dia terkejut dengan keberadaanku yang tiba-tiba.
“Hyung, mana Lee Beom?” tanyanya padaku.
“Nona Park sudah pergi,”
Mampus! Apa lagi yang harus aku katakan padanya?  Tidak mungkin aku memberitahunya kalau nona Park pergi dalam keadaan menangis. Aku lihat Henry tidak puas dengan jawaban asalku itu. Aneh, mungkin itu yang ada dalam benaknya.
“Sepertinya terjadi sesuatu. Tadi aku melihat nona Park mengangkat ponselnya, setelah itu ia buru-buru pergi.” Aku menghela napas, berharap Henry percaya dengan dustaku itu.
Owh! Kata terakhir yang aku dengar darinya. Terlihat kecewa, tapi aku rasa dia percaya dengan perkataanku. Syukurlah.
End Zhoumi POV


Continue..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar