Author : Ulie aya’aya
Wae
Title : My Inspiration
Rate : PG17
Lenght : Chapter
Cast :
Henry Lau
Kim Kibum
Park Lee Beom (OC)
Zhoumi
And Other
Beom menangis
sejadi-jadinya di dalam mobil, rasanya kenyataan ini terlalu pahit. Teman masa
kecil yang ingin ia peluk erat ketika dia berhasil menemukannya tidak mampu ia
sentuh sedikitpun. Tidak ada keberanian untuk mengakui bahwa dia adalah Beom,
pengantin masa kecil pria buta itu. Untuk menyakinkan hatinya yang masih rumit
memahami apa yang telah terjadi, Beom menghubungi ayahnya, Park JungSoo.
Setelah dipaksa, akhirnya ayahnya menjelaskan kalau Henry yang telah
mendonorkan mata untuknya. Ponsel berwarna silver itu pun langsung terlepas
dari tangannya setelah ia memutuskan panggilan teleponnya. Lemas, tidak ada
sedikit kekuatan pun untuk bergerak. Bagaimana bisa, Henry kecil bisa mengambil
keputusan besar seperti itu. Rela memberikan mata dan menggelap gulitakan dunianya
demi dirinya yang bercita-cita ingin menjadi seorang pelukis.
Bodoh! Dia memekik
memaki temannya itu. Air matanya semakin deras mengalir, isakan tangisnya
semakin keras. Hidungnya pun mulai tersumbat akibat tangisannya itu dan efeknya
sangat sesak untuk bernapas. Ia mengelus dadanya pelan, berharap rasa sakit
yang dirasakannya sedikit berkurang. Mampu bersabar dan menerima kenyataan ini
dengan lapang dada, walaupun rasa
bersalah kini menghantuinya. Entah apa yang harus dilakukannya untuk membayar
pengorbanan temannya itu. Berada disampingnya dan selalu membantu kesulitannya
saja, ia rasa belum cukup. Hampir satu jam Beom menangis dan setelah dia mampu
mengontrol emosinya, ia memutuskan untuk menjalankan mobilnya menuju Seoul.
Pulang, tanpa berpamitan pada Henry dan Zhoumi.
Kibum POV
22:00 waktu yang
tertera dilayar ponselku. Aku terbangun karena sebuah suara yang mencurigakan,
sebuah pintu yang dibuka. Aku berjalan ke arah sana, dan melihat Beom baru saja
memasuki rumah. Orang yang tadinya akan menginap, akhirnya memutuskan untuk
pulang. Syukurlah. Aku berdiri dihadapannya, sangat terlihat jelas rasa lelah
diwajahnya, matanya sembab dan aku rasa itu bukan akibat dia kelelahan. Apa dia
habis menangis?
Dia hanya diam sambil
menundukan kepalanya. Sepertinya sengaja menghindari beradu pandang denganku.
Mmm.. rasanya malas sekali untuk menyapanya, biarlah seperti itu. Aku tidak
peduli apa yang telah terjadi padanya, biar dia menyesali kesalahannya sendiri.
Aku berbalik dan mulai melangkahkan kakiku untuk melanjutkan tidurku yang tadi
sempat terganggu. Tapi, kenapa langkahku terasa berat?
End Kibum POV
Beom langsung memeluk
kekasihnya dari belakang ketika dia berusaha menghindar darinya. Kedua
tangannya melilit erat pada perut pria itu, mengunci tubuhnya supaya tidak bisa
bergerak sedikitpun. “Untuk malam ini, aku mohon jangan menghindariku, oppa.”
Ucapnya lirih. Kepalanya ia sandarkan pada punggung kekasihnya itu, semenit
kemudian ia mulai terisak. Pelan, tapi masih bisa terdengar oleh Kibum.
Berharap, direktur SM itu berbalik dan menyambutnya dengan pelukan hangat.
Kibum bergeming, tidak
tahu apa yang harus dilakukannya. Dia masih berdiri tegak, membiarkan tubuhnya
menjadi sandaran kekasihnya. Sudah 10 menit, rasanya kakinya sudah pegal.
Bukannya melonggar, tangan kekasihnya itu malah semakin erat memeluk perutnya
dan bisa dirasakan baju dibagian belakangnya sudah mulai basah. Tidak tega,
tidak ingin melihat Beom semakin rapuh. Akhirnya ia berbalik dan mendekap tubuh
gadis itu selama beberapa detik lalu menuntunnya menuju ranjang paling besar
yang berada di rumahnya.
“Sudah malam. Lebih
baik kita tidur.” Ujarnya sambil membaringkan gadis itu dan dia juga mengikuti
dengan tidur disampingnya. Merentangkan tangan kanannya supaya Beom merasa
nyaman tidur dalam pelukannya. Sementara tangan kirinya menggenggam tangan Beom
yang berada diatas perutnya. Mencoba memberikan sedikit ketenangan pada gadis
itu. Dan cukup berhasil, Beom sudah tidak menangis lagi walaupun dia masih
diam. Bersikeras tidak mau menceritakan apa yang telah terjadi padanya. Lumayan
lama mereka berada dalam posisi seperti itu, Kibum sedikit menggangkat
kepalanya. Berusaha melihat kekasihnya, apakah sudah tertidur atau belum. Ternyata
dia masih terjaga, suara getar ponsel miliknya yang berada di samping tempat
tidur, diabaikannya. Beberapa kali ponselnya bergetar hingga menimbulkan suara
cukup keras pada meja berbahan kayu itu. Kibum meraihnya dengan sedikit
mengangkat tubuhnya dan tangan kiri yang dari tadi setia menggenggam tangan
Beom, sekarang sudah mengepal ponsel itu, tertera nama Henry yang sedang
memanggil. Kibum mengangkat panggilan itu.
“Ya! Lee Beom, kau dimana? Sedang apa? kenapa
masih belum juga pulang ke panti. Apa terjadi sesuatu padamu?”
Suara yang keluar dari
ponsel kekasihnya itu terdengar sangat cemas. Orang itu tidak memberinya
kesempatan untuk berkata hallo dan
langsung menyerangnya dengan banyak pertanyaan, “Lee Beom sudah kembali ke
Seoul. Mianhae Henry-ssi.. karena ada sesuatu yang penting. Jadi aku
menyuruhnya untuk pulang.” balasnya asal. Beom semakin mempererat pelukannya
dan air matanya kembali menetes.
“Direktur Kim?” Henry
sepertinya sangat terkejut mendengar suara milik atasannya itu. Dia sedikit
terbata-bata ketika menanyakan hal tersebut. Sementara Kibum hanya bergumam
membalasnya. Dan akhirnya panggilan telepon itu diakhiri oleh Henry. Mianhae..
kata terakhir yang diucapkannya pada Direktur SM itu.
Waktu sudah menunjukan
pukul satu malam tapi mereka berdua masih belum juga memejamkan matanya. Nyaman,
rasanya seperti baru pertama kali mereka tidur bersama. Kerenggangan selama
beberapa minggu ini lumayan ampuh mengembalikan rasa rindu diantara keduannya. Sesekali
Kibum menggerakkan jari jemarinya, mengusap pelan rambut kekasihnya itu.
Sementara Beom masih diam membisu, menyembunyikan wajah sendunya di dada Kibum
dan Tangan kanannya melingkar erat pada tubuh pria itu. Hangat, tidak ingin
lepas darinya. Sepertinya ia tidak salah menganggap pria pujaannya itu sebagai
sandaran hidupnya.
“Tidurlah.. sudah
hampir pagi.” titah Kibum. Tangannya sedikit mengangkat kepala gadis disampingnnya
itu supaya memudahkan dirinya untuk mencium keningnya.
“Aku tidak ngantuk, oppa.” Beom mendongak, berusaha memberikan
senyuman terbaik diatas kesedihan yang menyelimuti hatinya. “Oppa tidurlah.
Bukankah selama ini kau yang selalu menjagaku? Malam ini giliran aku yang
menjagamu,” lanjutnya sebari merubah posisi kepalanya menjadi sejajar dan
berhadapan dengan Kibum. Telapak tangannya ditempelkan di pipi pria itu, lalu
digerakkan ibu jarinya seraya membelai. Semenit kemudian beralih kebagian
kepala dan mengusapnya dengan lembut.
“Apa yang sebenarnya
telah terjadi?” tanya Kibum. Matanya menatap dalam seolah ingin mendapat
penjelasan. Tapi, Beom tetap bungkam, tatapan iba dari kekasihnya itu seolah
tidak mampu menyentuh hatinya.
“Aku tidak akan
memaksamu, selama kau masih sanggup menghadapinya sendiri. Tapi jika hal itu
terlalu sulit, ceritalah. Supaya aku bisa memahamimu,” lanjutnya.
“Aniyo.. Aku baik-baik
saja. Jangan khawatir, oppa!” kata Beom sambil mencium pipi kekasihnya itu.
Pasrah. Percuma saja
memaksanya untuk bicara, gadis itu memang jagonya dalam urusan memendam
masalah. Semenjak berpacaran dengannya, Kibum jarang sekali mengetahui masalah
yang dialami kekasihnya itu dari mulutnya sendiri. Ia lebih sering mendengarnya
dari Donghae. Begitulah sifatnya. Dia sepertinya lebih nyaman bercerita pada
orang lain ketimbang pada kekasihnya sendiri.
“Baiklah. Aku tidur
duluan,” Akhirnya Kibum menyerah, rasa kantuknya sudah tidak bisa ditahan lagi.
Tidur 3 jam rasanya sudah cukup untuk meng-refresh
otaknya sebelum memulai rapat dengan koleganya di kantor.
Pagi yang sangat
merepotkan. Baru kali ini direktur SM, Kim Kibum menyadari pekerjaan rumah itu
sangat melelahkan. Biasanya ia tinggal menerima beresnya saja, tapi pagi ini ia
harus melicin pakaian yang akan dikenakannya, membuat sarapan dan membersihkan
peralatan masaknya sendiri. Belum lagi berkas-berkas yang harus dibawanya ke
kantor masih berserakan di atas meja. Sesekali ia menoleh ke arah Beom, sebisa
mungkin apa yang dikerjakannya tidak menimbulkan suara. Menghindari kebisingan
yang akan menyebabkan kekasihnya itu terbangun. Matanya menatap iba, terlihat
sekali kelelahan di wajah ayu gadis pujaannya itu. Setelah semua pekerjaannya
beres ia menulis sesuatu di sehelai kertas dan menyimpannya di atas meja
kemudian langsung berangkat ke kantor.
Tidak ada semangat.
Rasanya malas sekali untuk melakukan apapun, sarapan yang telah dibuatkan oleh
kekasihnya dengan susah payah tidak dimakannya. Nasi goreng kimchi yang sangat
enak itu tidak mampu menggoda rasa lapar yang sekarang dirasakannya. Pikirannya
masih terbebani oleh kejadian kemarin. Boro-boro makan, untuk beranjak dari
kasur saja rasanya malas sekali. Tadi hanya ke kamar mandi untuk mencuci muka,
kemudian kembali lagi tiduran di kasur dan menyembunyikan hampir seluruh
tubuhnya dalam selimut. Ia berharap apa yang telah terjadi kemarin itu adalah
sebuah mimpi. Yah.. mimpi buruk yang sudah menjadi langganan dalam tidurnya.
Beberapa kali ia menghela napas panjang dan menggelengkan kepala ketika
membayangkan kejadian kemarin. Tidak mungkin. Kata yang selalu keluar dari
mulutnya, rasanya terlalu sulit untuk mempercayai dan menerima semua ini. Tidak
tahu juga bagaimana harus bersikap pada Henry selanjutnya, 5 pesan singkat
darinya belum dibalasnya sama sekali. Diabaikan, seperti tidak ingin mengenal
lagi pria bernama Henry Lau itu.
Bosan. Itulah yang
sekarang dirasakannya, menghabiskan waktu di rumah dia rasa bukan cara
efektif untuk melupakan kejadian yang
telah terjadi. Melamun malah membuat napasnya sesak, kejadian-kejadian yang
pernah dialaminya bersama Henry waktu kecil seperti diputar ulang dalam
benaknya. Apalagi ketika ia akan meninggalkan panti, hubungannya dengan pria
yang biasanya dipanggil Mochi oppa itu sedikit merenggang. Waktu itu ia marah
dan meyalahkannya Henry sebagai penyebab kecelakaan yang telah terjadi padanya.
Sekarang setelah mengetahui bahwa pria itu yang telah mendonorkan mata padanya,
rasanya tidak ada muka untuk berhadapan langsung dengannya. Malu, menyesal,
merasa dia adalah orang yang paling buruk di dunia ini.
Sore harinya Beom
memutuskan untuk pergi ke rumah orang tuanya, mencoba mencari sedikit
ketenangan. Barangkali dengan bercerita pada ayahnya akan sedikit mengurangi
bebannya. Sekaligus menanyakan apakah ayahnya tahu tentang masalah ini atau
tidak. Ia langsung menghampiri orang tuanya yang sedang berada di teras
belakang. Mereka tampak terkejut dengan kedatangannya, dalam hatinya mungkin
bertanya-tanya ada apa dengan anaknya itu. Penampilan Beom saat itu memang agak
sedikit kusut, wajahnya yang terlihat sakit itu membuat mereka cemas. Cara
jalannya pun tidak bertenaga, lemas seperti akan jatuh pingsan. Melihat anaknya
seperti itu, Park Yejin langsung menyambut nya dengan pelukan hangat, “Gwenchana?”
“Gwenchana omma,” balas
Beom dengan sedikit senyuman.
“Duduklah. Apa yang
terjadi?” tanya Teuki.
Seperti ada kontak
batik antara ayah dan anak. Tanpa basa-basi Teuki langsung bertanya seperti
itu, ia tahu bahwa ada sesuatu yang terjadi pada anaknya. Mustahil sekali putrinya
itu menemuinya dadakan seperti ini kalau tidak ada masalah. Beom mulai duduk
dan menceritakan semuanya, wajahnya tertunduk mencoba menyembunyikan
buliran-buliran air mata yang membasahasi pipinya. Helaan napasnya terdengar
berat seperti menyimpan beban yang susah untuk dikeluarkan, kepalanya mulai
terasa pening dan semenit kemudian tangisannya semakin menjadi ketika Teuki
memberitahunya kalau dia sudah mengetahui masalah ini sejak awal. Dia terpaksa
merahasiakannya atas permintaan Henry. Katanya, pria buta itu tidak ingin
membebani dan membuat Beom merasa berhutang budi padanya.
“Kenapa bisa ada
kebetulan seperti ini. Ottoke appa? Apa yang harus aku lakukan? Sekarang untuk
bertemu dengannya saja aku merasa malu.” Ucap Beom disela-sela tangisannya.
Terdengar lirih dan terbata-bata.
“Apakah dia juga tahu kalau
kau adalah teman masa kecilnya?” Beom menggeleng. Sejenak Teuki menghela napas,
ia juga merasa bersalah pada anaknya itu karena telah merahasiakan masalah
penting seperti ini. “Berbuat baiklah padanya. Jangan karena merasa bersalah
kau jadi menjauhinya,” tambah Teuki sambil mengusap pelan pundak putrinya itu, kemudian
memeluknya. Dan tanpa disadarinya, Beom jatuh pingsan.
Kibum langsung menghubungi
balik ponsel kekasihnya ketika menyadari banyak panggilan tak terjawab di layar
ponselnya dari nomor rumah keluarga Park. Ia baru mengecek ponselnya setelah
satu jam panggilan itu masuk. Pekerjaan yang menunpuk membuatnya harus men-silent ponselnya supaya tidak mengganggu
pekerjaannya. Super sibuk, sering kali ia pulang terlambat. Kadang ia membawa
tugasnya ke rumah dan mengerjakannya sampai larut malam.
Ia sedikit terkejut
ketika yang mengangkat panggilan teleponnya adalah ibunya Beom, Park Yejin.
Tadinya ia menghubungi Beom untuk mencari tahu ada apa dengan calon mertuannya
itu yang tiba-tiba menghubunginya. Dari ibunya Beom, ia mendapat berita bahwa
kekasihnya itu jatuh pingsan dan sekarang sedang berada disana. Sedikit syok,
dan juga merasa bersalah karena ia malah pergi ke kantor disaat tahu kondisi
kekasihnya itu sedang tidak fit. Ia tidak menyangka kalau keadaan kekasihnya
akan langsung ngedrop seperti itu.
“Jangan khawatir. Sekarang dia sedang
tidur, omma menghubungimu supaya kau tidak cemas. Untuk malam ini dia akan
menginap di sini”
Kibum sedikit bisa
bernapas lega mendengar kabar itu. Beruntunglah ia mempunyai calon mertua yang
pengertian, setidaknya ia bisa lebih tenang kalau kekasihnya itu dirawat sendiri
langsung oleh orang tuanya.
“Apa sudah dibawa ke
Dokter?”
“Belum. Kalau keadaannya memburuk, baru
besok dibawa ke Dokter.”
“Mianhae omma.. aku
tidak bisa merawatnya. Saat ini masih di kantor, mungkin baru besok aku bisa
kesana.”
“Gwenchana.”
Setelah mengakhiri
panggilannya Kibum menjatuhkan tubuhnya ke kursi. Wajahnya menengadah dengan
mata tertutup, tangannya memijat pelan dahinya. Lelah sekali, pekerjaannya ini
kadang membuatnya sangat penat. Tidak yang seperti orang-orang awam bicarakan
bahwa hidup menjadi seorang Direktur itu sangat mengenakan. Kenyataannya, semua
pekerjaan pasti mempunyai kesulitannya masing-masing. Dan hanya orang yang
berkerja keraslah yang mampu bertahan sampai akhir. Setelah beberapa menit
mengistirahatkan pikirannya, ia langsung kembali mengerjakan pekerjaannya yang
masih tersisa. Berkutik dengan berkas-berkas yang harus ia tanda tangani dan
mengatur jadwal pertemuan dengan beberapa koleganya.
Matanya sekarang sudah
merasa perih dan lelah, ia membuka kaca matanya dan sekilas mengusap pelan
kedua matanya. Tak terasa waktu dipergelangan tangannya sudah menunjukan pukul
9 malam, sekilas menghela napas dan memperhatikan keadaan di luar ruangan kerjanya
yang sudah tampak sepi. Walaupun akhirnya hari ini pulang terlambat, tapi ia
bisa mengambil libur untuk besok harinya. Berusaha untuk menjadi seorang pria
baik, yang bisa merawat kekasihnya yang sedang sakit. Baginya itu adalah suatu
kepuasan.
Malam yang berbeda,
tidak melihat sosok kekasihnya tertidur di kasurnya berasa ada yang kurang.
Tidak ada tubuh hangat yang bisa dipeluknya, pipi halus yang selalu memanjakan
jari jemarinya, malam ini tidak bisa dibelainya. Saat Beom tidak ada, maka
semakin berasa pentingnnya kedudukan gadis itu dihatinya. Hampa rasanya ketika
dia tidak berada disampingnya. Matanya dari tadi susah untuk dipejamkan, hanya
memandang langit-langit seolah disana ada sesuatu yang sangat indah untuk
dipandang. Sesekali bibirnya menyungging, membayangkan kejadian-kejadian yang
telah dilaluinya bersama Beom. Tidak menyangka hubungan yang awalnya hanya
untuk mengetes perasaan seorang Lee Donghae bisa berlanjut sampai hari ini. Hubungan
yang diawali oleh kepura-puraan, akhirnya berujung manis. Masih teringat jelas
dalam benaknya, ketika Beom ingin ia menyampaikan surat cintanya untuk Donghae.
Terlihat sekali wajah gugupnya, dan akhirnya gadis itu menyerah ketika melihat
Donghae bersama wanita lain.
Syukurlah.. kata yang
diucapkan Kibum saat itu. Beom patah hati, berarti ada kesempatan untuknya
untuk merebut hati gadis itu. Trik bodoh yang dibuatnya telah membuat Beom
jatuh cinta padanya. Bagus, akhirnya cintanya terbalaskan.
Kita pacaran saja. Kalau Donghae merasa
cemburu, berarti dia mencintaimu. Kalau tidak, berarti perasaan dia selama ini
padamu hanya rasa sayang sebagai seorang kakak pada adiknya saja.
Seperti itulah trik
bodohnya. Terdengar seperti sedang memainkan hati gadis itu untuk kepentingan
dirinya sendiri. Akhirnya ia berhasil. Dan bangga atas apa yang telah
dilakukannya waktu itu. Lamunannya buyar seketika saat ponsel yang berada disamping
kepalanya berdering keras. Memekakan telinga sekaligus mengusik lamunan indah
dibenaknya, tadinya ingin memaki tapi setelah melihat nama yang tertera dilayar
ponselnya itu ia tersenyum sumbringah. Kekasih hatinya menghubunginya.
“Yoboseyo..”
“Oppa, apakah kau belum tidur?”
“Hemm.. Wae?”
“Aniyo.. apa sedang kerja? Apa aku
mengganggumu?”
“Ani.. aku sedang
memikirkanmu. Bogoshipo!”
Beom tersenyum, bualan
murahan seperti itu berhasil membuatnya melayang. Seperti awal-awal mereka
berhubungan, ungkapan sederhana seperti itu sangat berarti dan sangat
ditunggu-tunggu terucap dari mulut kekasihnya.
“Kenapa kau belum
tidur? Apa kau juga memikirkanku?” tanya Kibum.
Terdengar gagap saat
Beom akan menjawabnya, “Ani.. Dari tadi
sore aku sudah kenyang tidur. Jadi sekarang tidak mengantuk.” Egonya
meninggi. Rasanya gengsi untuk mengakui hal tersebut, tidak ada cara lain
selain berkilah. Tapi sayang, dustanya tidak mempan untuk Kibum. Pria itu yakin
sekali kalau kekasihnya juga sedang memikirkannya.
“Yah sudah.. kalau gitu aku putus saja teleponnya. Aku
juga tidak akan menjemputmu besok.”
“Oppa!!” Ancaman Kibum berhasil membuatnya
sedikit panik. Nadanya meninggi, seolah tidak ingin kekasihnya itu memutuskan
panggilannya. “Bogoshipo. Saranghae..”
ungkapnya malu-malu.
“Mwo? Aku tidak dengar.”
“OPPA!!” Terdengar manja, tanpa disadarinya
pekikannya itu sangat keras hingga membuat ibunya yang kebetulan melewati
kamarnya menyembul dibalik pintu untuk memastikan keadaannya, “Beom-ah, gwenchana?”
“Ah iya..” Gadis itu
meletakkan ponsel yang dari tadi menempel ditelinganya ketika ibunya mulai
memasuki kamar dan menghampirinya. “Wae? Apa kau mimpi buruk?” tanya ibunya.
“Aniyo..” Beom sedikit
tersenyum, malu. Telah memancing kegaduhan ditengah malam seperti ini. “Apa
omma belum tidur?” tanyanya basa-basi.
Ibunya malah tersenyum,
membuat dahinya mengkerut heran. Ibunya lalu menepuk pundaknya dan berkata
“Tidurlah kalau sudah selesai,”
Kini ia mengerti
mengapa ibunya berkata seperti itu, tatapan mata ibunya saat mengarah ke ponsel
miliknya seolah mengisyaratkan bahwa ia harus segera mengakhiri panggilannya
untuk segera tidur. Ibunya keluar setelah itu. Terbongkar, karena sayup-sayup
terdengar keluar suara Direktur SM yang terus memanggil namanya.
Percakapan mereka terus
berlanjut, titah dari ibunya seolah terlupakan oleh gadis bermata sipit itu. Udara
yang dingin tidak dirasakannya, lama kelamaan menjadi panas dingin dan mulai
merasakan gatal dibagian tenggorokannya, ia terserang demam dan batuk. Seperti
sepasang kekasih yang baru merasakan jatuh cinta, keduanya seolah tidak
mengenal waktu. Percakapan via telepon yang telah mereka lakukan sudah
berlangsung selama hampir 6 jam. Dan terpaksa mereka harus mengakhirinya.
Disaat orang-orang baru bangun, mereka berdua malah akan memulai untuk
memejamkan matanya.
11:00 am. Rasanya berat
sekali untuk membuka matanya, kepalanya terasa pusing sekali. Keringat dingin
keluar memalui pori-pori kulit leher serta dahinya. Tubuhnya lemas tak
bertenaga, untungnya ada ibunya yang sigap terhadap keadaannya. Dan langsung
membawanya ke Dokter.
@Seoul Hospital
“Mianhae.. kami belum
mendapatkan mata yang cocok untukmu.” Kata seorang Dokter pada pasiennya.
Terlihat lesu pasien itu mendengarnya, senyuman kecil yang ia ukir tetap tidak
bisa menyembunyikan rasa kecewanya. Sudah hampir setahun ini ia mencari ke
setiap rumah sakit besar untuk mendapatkan mata untuknya. Ia ingin bisa melihat
lagi, apalagi setelah ia berteman baik dengan seorang gadis bernama Lee Beom,
keinginannya itu semakin menggebu dan sangat rajin mengunjungi rumah sakit
untuk memastikan. Zhoumi, asisten pasien itu akhirnya membawanya keluar dari
ruangan Dokter spesialis mata. Lelah sekali, habis pulang dari Andong mereka
belum sempat ke rumah dan malah langsung ke rumah sakit. Entah kenapa setelah
dari desa itu, Henry antusias sekali untuk segera dioperasi. Berharap, setiap
rumah sakit yang dihubunginya sudah menemukan mata yang cocok. Tapi sayang, ia
harus lebih bersabar lagi untuk
keinginannya yang satu itu.
“Nona Park? Apa dia
sakit?” gumam Zhoumi ketika melihat Beom dari kejauhan digandeng oleh wanita
separuh baya memasuki ruang Dokter umum.
Henry sejenak berhenti mendengar ucapan pria jangkung itu, apa yang dia katakan
cukup menarik dan membuatnya penasaran.
“Beom?” ucapnya
memastikan. “Dimana?”
“Masuk ruangan.
Sepertinya akan diperiksa.” balas Zhoumi.
“Hyung bisakah kita
menunggunya sampai keluar?”
Permintaannya itu membuat
Zhoumi menaruh curiga, rasa khawatir dan perhatian yang diperlihatkannya kadang
terlalu berlebihan. Bukan seperti seorang teman pada temannya, tapi seperti
seorang pria pada kekasihnya.
“Apa kau menyukainnya?”
terka Zhoumi tiba-tiba. Dan berhasil membuat Henry terbatuk, “Apa terlihat
seperti itu?” ucapnya sarkastis. Kemudian ia tersenyum seduktif.
“Ya!” Zhoumi seolah
meminta penjelasan dari artis SM itu. Bagaimana mungkin dia bisa berani
mencintai kekasih bosnya sendiri. Itu sama saja mencari masalah dan menghancurkan karirnya kalau sampai ketahuan
oleh pihak menejemen.
“Tenang saja hyung. Aku
hanya akan menyimpan cinta ini dalam hati.” Pengakuan yang cukup mencengangkan.
Mata Zhoumi membulat lebar, tidak menyangka pria buta itu akan mengakuinya
secara blak-blakan.
Henry POV
Percuma saja
menyangkal. Perhatian dan tingkahku pada Beom sudah sangat jelas menggambarkan
isi hatiku, aku mencintainya. Dan aku yakin Zhoumi hyung juga pasti
menyadarinya. Sebulan yang lalu mungkin aku masih bisa menjawab lantang kalau
aku hanya menganggapnya sebagai seorang teman. Tapi kali ini, semakin aku
berusaha untuk menyangkal, aku merasakan sakit dan merasa membohongi diri
sendiri. Bodoh rasanya. Bukankah cinta itu adalah anugerah? Jadi tidak ada
salahnya juga mencintai Beom, walaupun untuk saat ini cinta itu datang pada
orang yang kurang tepat. Tapi aku yakin ada sesuatu yang tersembunyi dari
hubungan ini. Pasti ada makna dan pelajaran yang bisa aku ambil dari cinta ini.
“Jangan cemas hyung,
aku masih bisa mengontrol hatiku. Aku juga tidak mungkin menghancurkan hubungan
orang lain demi egoku sendiri.” paparku, berusaha memberi ketenangan pada
Zhoumi hyung. Aku yakin dia merasa syok atas apa yang baru saja aku katakan.
Dia menyeretku untuk berjalan, pergi. Seolah tidak mengijinkannku untuk menemui
Beom saat ini. Alasan-alasan yang dia kemukakan padaku tidak menyurutkanku
untuk menemuinya. Aku tetap bertahan, tidak peduli dengan beberapa wartawan
yang katanya kini sedang menungguku di pintu keluar. Gampang toh, aku hanya
tinggal menjawab bahwa Beom adalah temanku. Apanya yang akan jadi scandal? Zhoumi hyung terlalu berlebihan
menanggapi keadaan ini. Lagi pula Beom bersama ibunya, jadi aku yakin wartawan
tidak akan menulis hal yang aneh-aneh tentang kebersaamanku bersama Beom.
“Ya! Kau jangan egois
seperti itu. Kau mungkin sudah terbiasa dengan kamera dan pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan oleh wartawan. Tapi untuk nona Park dan ibunya, mungkin ini akan
membuat mereka risih.” ujar Zhoumi hyung dengan nada yang sedikit tinggi. Aku yakin
dia sekarang pasti kesal padaku. Aku diam, tertunduk malu. Ada benarnya juga
apa yang dikatakannya. Aku tidak boleh egois, jangan gara-gara ingin memuaskan
keingintahuanku aku malah mengganggu kehidupan mereka. Aku terpaksa pergi
setelah sebelumnya menjawab beberapa pertanyaan yang dilontarkan oleh para pencari
berita itu.
End Henry POV
Sepulang dari rumah
sakit Beom disambut oleh Kibum yang sudah berada di rumah orang tuanya. Ia dipapah
sampai kedalam kamarnya dan duduk di sofa. Istirahat sambil menonton acara TV. Mereka
duduk merapat, malah sang gadis tidak merasa segan untuk menyandarkan kepalanya
di dada si pria. Tangannnya melilit erat di tubuh pria itu seolah meminta
sedikit kehangatan yang dipancarkan dari tubuhnya. Kerenggangan dan sikap
dingin yang sebelumnya pernah terjadi seolah terlupakan, malah hubungan mereka
sekarang bertambah erat jauh sebelum pertengkaran diantara mereka dimulai.
Saling mengerti dan memahami adalah cara ampuh untuk mereka tetap bersama,
karena pada dasarnya mereka tak bisa terpisahkan.
Beom sedikit
membenarkan posisi kepalanya supaya bisa lebih jelas melihat sekilas berita
yang ditayangkan di salah satu stasiun televisi swasta di Seoul. Beritanya tentang
seorang artis SM yang baru saja keluar dari rumah sakit. Menurut wawancara yang
telah dilakukan, sang idol telah melakukan pemeriksaan kesehatan. Tubuh yang
biasanya terlihat gagah itu memang sedikit lemah, wajahnya pun terlihat
kecapean. Artis yang biasanya sangat bersahabat dengan para warta berita itu,
kali ini sedikit menghindar dan hanya menjawab pertanyaan seperlunya. Senyuman
yang biasanya ia umbar dengan sempurna, kini hanya menyungging sedikit, seperti
tidak ada kemampuan untuk menarik bibirnya lebih lebar.
“Apa dia sakit?” tanya
Beom dalam hatinya. Melihat kekasihnya yang termenung itu, Kibum langsung
mematikan TV. Kemudian mendekap lebih erat tubuh kekasihnya, “Istirahatlah..”
Beom sejenak mendongak.
Melihat ekspresi kekasihnya yang langsung berubah ketika melihat acara berita
tadi. Ia menuruti dan membenarkan posisinya menjadi tertidur dengan menjadikan
paha kekasihnya itu sebagai sandaran kepalanya. Sementara sang pria langsung
menyambutnya dengan sebuah belaian halus dan ciuman lembut di keningnya.
Continue..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar